Rahasia, dia.


Pagi ini, langit tampak biru terlihat elok dan cerah. Tire berlari-lari kecil menaiki anak tangga bersama sahabatnya. Mereka membuka pintu utama ruangan tersebut setelah mengetuknya sekali, seperti biasa hanya terdengar suara tots-tots keyboard atau sesekali suara mesin printer. Pintunya tidak terkunci, mereka masuk setelah dipersilahkan oleh bu rumi, guru mereka.

Urusan selesai, Tire dan sahabatnya meninggalkan ruangan. Tak ada yang tahu pasti bagaimana  jalan yang akan dilalui, tapi masing-masing orang berhak membayangkan, merencanakan, mengkonsepkan jalannya setiap waktu, termasuk Tire. Bertemu atau berpisah adalah hal mutlak dirasakan setiap orang. Hanya dua langkah dari ruangan bu Rumi, ada ruangan lainnya, rupanya suara mesin printer yang terdengar saat mereka masuk berasal dari ruangan lain. Langkah Tire terhenti sejenak. Ada yang sedang duduk di depan layar komputer, lantas sesekali menengok Handphone. Pandangan dia tetap fokus, fokus pada yang di depannya, dan Tire mematung lama.
Tire tak seutuhnya mengerti, tapi ia tahu bahwa selalu ada dia dalam setiap potongan cerita hari-harinya.

Duh, kamu mikir apasih tadi sampai berdiri lama, ngeliatin saja, sekali-kali nyapa gitu?” komentar sahabatnya.
“aku gak akan pernah bisa melakukannya, kamu tahu itu.”
“kamu belum mencobanya. udah ah, tambah pusing kalau dengar kalimat itu lagi.” tanpa menunggu pembelaan dari Tire, sahabatnya langsung mengajak ia ke taman untuk menyelesaikan beberapa tanggungan perkuliahan. Selalu begitu, Tire benar-benar kalah. Ia kalah dari perasaannya sendiri, sulit sekali menghapus kejadian tadi. 

Hujan dan matahari, ia tahu bahwa keduanya tidak akan ada dalam waktu bersamaan. Jarang sekali ada  hujan yang turun saat matahari sedang kuat-kuatnya memancarkan sinar.

Namanya Auliyah Tika Renata, biasa disapa dengan tire. Karena panggilan auliyah dan tika  sudah banyak (ini pendapat sahabat-sahabatnya) jadilah ia dipanggil dengan Tire, singkatan dari namanya. Daun-daun berguguran, angin cukup kencang untuk mengibarkan kain warna-warni penutup diri dua insan manusia. Makhluk yang ditakdirkan dengan sifat lemah lembutnya, kepekaan yang tinggi, dan sangat perasa. Siang ini, Tire dan sahabatnya sedang duduk di taman kampus.

“kamu menulis di daun kering lagi?” sahabatnya menggeleng kepala melihat kesibukan Tire yang sedang menulis harapan-harapan di atas daun kering yang berguguran. “kamu gak bisa kayak gini terus, perlu  diterapi nih” goda sahabatnya.

Tire suka menuliskan sesuatu semacam harapan dan pesan pada daun-daun berguguran, kebiasaanya. Bagi ia itu merupakan salah satu cara untuk menyampaikan harapan kepada alam, berharap alam pun ikut merasakan bagaiaman perasaannya. Lalu, daun itu diterbangkan, ada yang terbawa angin dan ada juga yang tidak. Ia membiarkan apa yang ada dihatinya terbawa angin pula. Perempuan yang sebentar lagi akan menggenapkan usianya jadi 22 tahun, dia  24 tahun. Dan, Tire selalu berharap hujan dan matahari ada dalam satu kejadian. Seperti halnya ia dengan seseorang yang terus ada dalam ingatannya, yang menghentikan langkahnya, dan meruntuhkan segala pertahanan yang telah dibangun. Tire berharap mereka juga akan bertemu suatu saat nanti, entah akan berakhir bahagia atau sebaliknya, Tire tidak tahu. Itulah takdir.

Selamat tinggal November, bulan hujan. Selamat datang Desember, bulan hujan, bulan ujian dan bulan kelahiran. Bagi Tire Desember selalu istimewa. Setelah usai kelas, seperti kebanyakan mahasiswa jika masuk pagi selalu tidak sempat sarapan. Tire dan sahabatnya, langsung menuju salah satu tempat makan yang sesuai dengan kantong mahasiswa, pastinya. Saat itu, ketika mereka ingin menyebrang jalan, dari sisi berlawanan ia melihat-nya sedang berjalan dengan beberapa temannya. Dia terlihat serius dan kaku sekali. Tire mematung, menatap-nya. Hanya itu yang ia lakukan, masih sama seperti kemarin tidak berani menyapa lebih awal, lalu bertanya kabar atau basa-basi biasa antara mahasiswa, antar kakak tingkat dan adek tingkat. Bagi ia, melihat-nya sudah cukup, karena bahagia atau tidak seseorang tergantung diri sendiri yang memutuskan akan bahagia, atau berusaha mencari kebahagiaan lain.
Sahabatnya yang sudah paham lalu berbisik “udah, dia gak bakalan lihat kamu, nyapa kamu, atau senyum ke kamu. Jadi kita harus segera pergi”. Tire ditarik untuk kedua kalinya.

Tidak ada yang sia-sia di dunia, termasuk dengan hal yang sering dilakukan oleh Tire. Menulis harapan, kadang juga pesan di daun-daun kering berguguran, angin membawanya. Setiap pesan atau harapan yang pernah ia tuliskan, satu per-satu mungkin akan terwujud walaupun tidak semua. Saat itu, saat mereka berpapasan lalu tercipta jarak beberapa langkah antara tire, sahabatnya dengan dia. Saat itulah satu tunas harapannya telah tumbuh. Walaupun sesaat, se-per-kian menit.
“Tire, tunggu” dia berlari kecil menuju Tire dan sahabatnya. Tire berbalik, sahabatnya juga. Ia mengenggam erat lengan sahabatnya. Tidak percaya bahwa yang memanggilnya barusan adalah dia.
“iya, ada apa kak?” katanya. Tuhan ini bukan mimpi. Suara hati Tire.
“tadi bu rumi pesan, kamu diminta keruangannya. Kalau sekarang kosong, bisa langsung ketemu, beliau ada di ruangan” bagi Tire, percakapan ini salah satu tunas harapannya yang terwujud.
Benar, ini bukan mimpi. Serunya .

“kalian bisa?” tambahnya ketika Tire belum memberi jawaban iya atau tidak.  
“iya maaf kak. Aku bisa kok, bisa bisa bisa” kata Tire bersemangat. Kata-nya oke, lalu berbalik meninggalkan Tire dan sahabatnya. Mereka masih belum beranjak pergi saat dia berbalik lagi “lain kali, kalau jalan jangan suka melamun” Seru-nya kepada Tire.

Tire Mengangguk. “Dia tersenyum. dia menyapa ku”. berseru kepada Dina, sahabatnya. Tanpa basa basi ia langsung mengganti tujuan, menuju ruangan bu Rumi bukan ke tempat makan. Itu percakapan kesekian kalinya, tapi bagi Tire percakapan dengan dia adalah sesuatu yang beda.

Pertemuan kesekian untuk suatu agenda kerja bersama bu Rumi, Tire, Dina, dan dia  di ruangan berukuran cukup besar, terisi sesak oleh buku-buku beliau. Setelah usai urusan diskusi, mereka lalu keluar, bersalaman dan meninggalkan ruangan itu.
“Tire, nanti sore di rumah ku ada acara kecil-kecilan, syukuran gitu. kamu sama Dina datang saja kalau gak ada acara” Tire menggangguk, tanpa pikir panjang. “iya, kami usahakan kak,” dia lantas menuruni anak tangga, meninggalkan dua perempuan yang masih bingung, akankah datang atau tidak nanti sore.

Tire senyum, menyiku lengan sahabatnya, “kamu beneran harus diterapi.” Kata dina.

2 minggu kemudian, ujian mereka selesai dan hujan hampir setiap hari mengguyur kota termasuk hari ini tetapi hanya gerimis saja. Di depan kelas, ada dia yang berdiri dan sedang ngobrol dengan teman-nya.
Mereka tak saling menyapa, sama seperti sebelumnya. Kaku.

“Tire, tunggu.”

Tire berbalik. Menunjuk dirinya, untuk meyakinkan apakah benar ia yang dipanggil. Hujan mulai deras.

“Minggu depan, aku wisuda. Kalau gak ada acara, datang ya” dia memainkan pulpen di tangannya, Tire masih diam. Hujan benar-benar telah deras. Teman-teman kelasnya juga mulai keluar. “kalau gak bisa, gak apa-apa, hehe” katanya. Dia pamit lebih dulu, sebelum Tire memberi jawaban.

Tire diam cukup lama, mempertimbangkan, mengingat-ngingat jadwalnya. Serius sekali hingga tak sadar kalau dia sudah berbalik, pergi.
Dia sudah menjauh, menuruni anak tangga bersama yang lain. Tire harus sedikit berlari kecil,  untuk memperkecil jarak, lantas berseru.
“Tire gak ada acara minggu depan dan sepertinya bisa datang, kak Adrian” kata Tire, dia berbalik dan mengacungkan jempol. oke.
Dia tersenyum, melambaikan tangan kepada Tire.

Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, termasuk hal yang dilakukan oleh perempuan pemimpi itu, menulis harapan pada daun kering berguguran lalu menerbangkannya. Hari besar dia pun tiba, dengan seragam wisuda, dia terlihat gagah sekali, Tire hujan-hujanan dengan perasaannya. Tuhan tolong kondisikan apa-apa yang muncul dalam hati ini. Lirihnya.

“Selamat, kak Adrian. Semoga Ilmunya berkah” Tire memberikan satu hadiah sederhana hasil kerja kerasnya satu minggu lalu.

btw, makasih banyak loh sudah datang. Hadiahnya juga, cukup unik” kak Adrian tertawa.

Suasana ramai sekali, wajah-wajah bahagia terpancar dimana-mana, ucapan selamat terdengar saling sahut-sahutan. Rombongan satu dengan lainnya tak mau kehilangan moment terbaik ini, mereka saling mengabadikan, tak luput keluarga dan teman-teman kak Adrian, Tire pun dipaksa untuk bergabung, foto bersama.

Ada kebahagiaan yang tak pernah bisa didefinisikan oleh seorang perempuan yang selalu bermimpi dan berharap akan ada hujan saat matahari sedang kuat-kuat memancarkan sinar walaupun hanya sebentar. Entahlah, perempuan itu selalu menyukai kejadian yang begitu jarang terjadi itu.

 Jam menunjukkan pukul 2 siang, ruangan wisuda mulai sepi yang menyisahkan beberapa orang. Lalu, beberapa saat berlalu, dia menyapa Tire dan memberikan kotak kecil bersegi empat, agak besar dibungkus dengan kertas kado berwarna biru bermotif Bunga-bunga. Kesukaannya Tire.

“SELAMAT ULANG TAHUN, Auliyah Tika Renata (Tire)” kata­­-nya.

Tire memandang heran. Terlihat bingung, tak percaya.

“hai, ada yang salah?” selidik­-nya
Tire menggeleng.
lalu, akhirnya mengangguk. Tersenyum.

"terimakasih banyak Tuhan, terimakasih banyak Kak Adrian."


Bagi Tire, takdir yang terjadi hari ini adalah sebagian kecil dari rencana Tuhan yang tak pernah bisa ia bayangkan. Tire yang selalu hidup dengan harapan, harapan pada hujan dan matahari, atau hujan dan pelangi dapat dalam satu frekuensi masih tetap ada dalam hati tire, termasuk satu frekuensi dengan dia, kak Adrian Hasan. Adalah harapannya, semoga tidak ada yang tersakiti nanti terhadap takdir dari Sang Penulis Skenario Terbaik. 


Maret, 31-2017. 


Komentar