Anak Sekolah-an #Bercerita


Assalamualaikum. Halo semuanya. Gimana kabar? Ehm. Semoga baik-baik ya!

Saat saya menuliskan cerita ini, hari sudah gelap. Sekarang pukul 22.58 WIB. Suhu malam ini tidak dingin seperti hari-hari sebelumnya. Dan, hujan sudah dua hari ini tak menyapa penghuni bumi. Hanya sinar matahari yang ber-halo pada penghuni bumi-Nya, tapi tak banyak yang membalasnya dengan bisikan-bisikan syukur.
Baiklah. Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman seseorang yang ditemui sejak saya menginjak dunia maha-siswa. Hehe.
Jika kemarin yang terlihat hanya cover-nya, sekarang ada sisi lain yang dia bagikan. Baiklah, ini bukan cerita yang waaaww atau semacamlah, ini hanya cerita seseorang yang berusaha melupakan dan meninggalkan hal-hal yang belum pantas dimiliki oleh dirinya. Walaupun saya tahu, bahwa cerita-nya ini adalah cerita yang mungkin pernah teman-teman semua lihat/dengar/baca sebelumnya. Its okay. Tak masalah. Karena tiap-tiap kejadian, punya kenangan tersendiri dari masing-masing orang. Dan, bagi saya dan dia menuliskan-nya merupakan hal terbaik yang pernah dilakukan. Atas semua cerita ini, sudah dia setujui untuk saya cerita-kan kembali dengan kata-kata yang sedikit berbeda, namun maknanya sama.

dia yang masih anak sekolah.

Terhitung pada tahun 2010 lalu.

Masa-masa ini adalah saat dia sedang menempuh sekolah menengah atas. Pada kesempatan ini dia tahu seseorang. Teman angkatan namun beda kelas. Saat itu beda kelas pas kelas 2, tapi kelas 1-nya satu kelas. Ya, cerita tentang anak sekolah ya. Sepotong kejadian-kejadian yang disengaja ataupun tak disengaja itu sudah berhasil menyenggol pertahanannya. Dengan berbagai kegiatan dan rutinitas yang harus melibatkan satu sama lain membuat banyak kenangan tercipta, membuat banyak kejadian yang masih diinget sampai sekarang. Ya, cerita tentang anak sekolah ya. Mungkin terlalu berlebihan kalau ini disebut sebagai ‘cinta’ atau apalah itu. Nyatanya, dia hanya senang melihat hal-hal yang terlihat dari seseorang itu. Bisa dari cara seseorang itu berbicara, bisa dari cara seseorang itu melakukan hobinya, dan bisa dari cara seseorang itu memimpin. Banyak hal yang terlihat oleh dia adalah ‘baik’ dari sosok itu. Ya, cerita tentang anak sekolah ya. Singkat cerita, dia yang entah sengaja atau tidak telah terlibat dalam berbagai hal dengan seseorang itu lambat-laun punya rasa tersendiri, Semacam khusus gitu lah. Sebut saja ada rasa kagum yang berujung ingin tahu banyak hal tentang diri seseorang itu. Berlebihan memang ya, tapi begitu adanya. Lama-kelamaan dia tahu perasaannya, tapi lama-kelamaan juga dia makin cemas dan bertanya-tanya hal aneh. Apakah ini berlebihan? Apakah ini wajar? Apakah seseorang itu punya rasa yang sama? dan apakah-apakah yang lainnya terus berputar dipikirannya.

Dan kalian tahu, tidak ada jawaban yang benar-benar dia dapatkan dari pertanyaan itu. Tidak ada. Sebagai seorang anak remaja, usia belasan tahun, menginjak dunia remaja, dan dikelilingi oleh orang-orang yang dunianya juga bermacem-macem membuat dia semakin terwarna. Terutama jiwanya.

Masa-masa itu adalah masa penuh drama dan seperti dibuat-buat. Karena kejadian-kejadian sederhana, seperti bercakap-cakap, pinjam-meminjam buku, kerja kelompok bareng, atau bersih-bersih kelas bareng menumbuhkan satu-dua-atau-lebih tunas-tunas rasa itu. Dia masih duduk di sekolah menengah atas, umur sekitar 16 tahun, yang aktivitasnya begitu-begitu saja, belajar, main, kerjakan tugas, tidur, makan, nonton film, berburu bolpoin lucu, berburu barang-barang lucu di pasar, tahu apa tentang definisi suka kepada seseorang. Jangan dibandingkan dengan zaman sekarang, beda. Kalau dulu masih belum banyak gadget atau belum semudah sekarang dalam mengakses internet sehingga tahu ilmunya. Atau, yang mungkin didikannya sudah mantap oke dari keluarga atau lingkungannya. Dia belum tahu detail hukum-hukumnya kalau suka sama seseorang, belum tahu cara nanganinnya, dia belum tahu. Hingga tunas-tunas itu pun terus bertumbuh satu, dua, tiga, sepuluh, seratus hingga berjuta-juta. Hari-harinya menyenangkan, dan tak seorang pun yan tahu tentang tunas itu tumbuh subur kecuali dirinya sendiri dan Yang Maha Pemilik Hati.

Saya yang sudah lama mengenalnya, baru tahu tentang cerita ini. Rapat sekali dia menutupinya. Saat sedang bercerita, dua tahun lalu, saya tersenyum dan mengajukan pertanyaan kepada dia. dan pertanyaanya adalah, kok bisa se-begitu rapatnya rahasia mu, kak? Sampai sayapun tak mengenali sikap-sikap itu? Atau adakah seseorang yang spesial sebagai tempat bercerita atau sharing gitu?

Dia menggeleng. Dia juga tidak tahu dan tidak terlalu memperdulikan apakah orang lain tahu atau tidak. Dia menggeleng lagi. Tidak ada orang spesial, teman spesial atau semacamnya yang dia temui dulu. Dia memang berteman, tapi sulit sekali untuk menemukan yang benar-benar teman.

Bagi dia, definisi teman terbaik itu bukan ditentukan dari seberapa sering keluar bareng, jalan-jalan, makan, atau saling membantu mengerjakan tugas, saling bayar-membayar, saling jemput, saling cerita lucu, ketawa sana-sini. Bukan. Definisi teman baginya adalah seseorang yang datang dan pergi pada saat yang tepat. Seseorang yang mau belajar mengerti dirinya seperti mengerti dirinya sendiri. Seseorang yang tanpa kita bicarapun sudah paham apa yang sedang dirasakan lewat tatapan, lewat cerita, dan lewat tawa. Sayangnya, dari sekian orang yang dia temui saat sekolah menengah atas itu belum ada yang masuk kategori definisi teman bagi dia. Susah memang ya. Tapi begitulah dia. Ada pengorbanan dalam pertemanan yang harus terlihat sebelum cerita-cerita yang lebih pribadi itu meluncur ke telinga yang lain. Jadi, dia hanya menyimpannya. Menyulamnya sendiri, dia hanya bercerita pada lembaran kertas. Pada angin yang berhembus. Pada lautan lepas yang menawarkan ketenangan. Dan, tak lupa kepada Dia yang punya Alam-Seindah-ini.

Terlihat dia mengatur ritme nafasnya, menarik dan menghembuskannya.

Kalau di kelas satu masih anak-anak, mungkin kelas tiga sudah terhitung bukan lagi anak ‘abal-abal’ kali ya. Sebut saja begitu. Kenapa kok gitu? Ya, perasaan itu masih ada. Masih terus bertumbuh dengan cara yang berbeda. Dan cara menyikapinya juga berbeda. Dia semakin tak menghiraukannya tapi semakin terasa sakit. Dia berusaha untuk sekuat tenaga melupakannya. Hal-hal bodoh dilakukan, ya membatasi percakapan dengan seseorang itu, membatasi pergaulan dengan seseorang itu, pokoknya gimana caranya jauh-jauh sama seseorang itu. Dan itu, susah. Iya susah dikit. ah, mungkin tak ada Dia yang dilibatkan kali. Semakin sering dia menjauh, semakin bertumbuh pula rasa penasarannya tentang apa aja sih yang dilakukan seseorang itu. semakin banyak pula pertanyaan yang datang menyapa, mengapa seseorang itu dekat sekali sama si itu ya? Kenapa seseorang itu bisa akrab dengan si ini ya? Kenapa dan kenapa yang lainnya. Itu adalah kejadian-kejadian pada dirinya yang selalu tak disukai. Kelakuan yang cukup aneh dan drama.

Tidak apa-apa jika teman-teman beranggapan bahwa dia alay, berlebihan, so drama, so sinetron dan lain-lainnya. Bebas. Dia memang begitu adanya dulu. Ya semakin bertambah usianya, semakin banyak kejadian yang dia lewatin, seiring berjalannya waktu dia sedikit mengerti tentang apa yang sedang dirasakan. Tapi jawaban bijak atas pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan sebelumnya belum ada jawabannya. Hingga usia sekolah mereka tamat, hingga perjalanan baru mulai ditempuh. Hingga tujuan-tujuan mereka mulai terlihat, berbeda-beda. Dia yang memilih menetap dikota tempat tinggal kelahirannya, dan seseorang itu memilih untuk merantau ke pulau seberang.

Tembok penghalang yang coba dia bangun adalah sejak mereka ditakdirkan untuk satu kelas lagi di kelas 3. Sangat jelas sikap-sikapnya, membangun jarak. Apakah seseorang itu juga melakukan hal yang sama kepada dia? dia ga tahu. Dia tidak berani menerka-nerka pula. Takut salah. Takut berharap. Takut ketinggian. Kalau jatuhkan sakit. Seiring berjalannya waktu dunia dia dan seseorang itu benar-benar berbeda. Nampaknya tembok-tembok penghalang, jarak yang dia ciptakan nampak berhasil. Buktinya tak ada cerita saling bercakap seperti dulu, tak ada cerita saling sharing bacaan seperti dulu dan semacamnya.

Saya ikutan terharu melihat cara dia untuk berusaha melepaskan yang belum pantas dimiliki.

Dia tertawa. Tapi semua tembok yang terbangun itu rapuh. Lanjutnya. Saat-saat tahun pertama-kedua dia masih mencoba mengokohkan tembok penghalanya. Masih ada siluet-siluet masa kemarin yang belum benar-benar pergi walaupun tokohnya sudah pergi sedikit lebih jauh. Ah, saat masa sekolah berakhir, harusnya masalah tunas-tunas itu-pun tuntas. Tanpa mengganggu lagi masa baru yang akan dia lalui. Harusnya masa-masa dia bertemu teman baru, pengajar baru, penjaga pintu gerbang baru, penjaga kantin baru, penjaga fotokopi baru, penjaga ruang administrasi baru, perasaanya juga baru. Bukan lagi menyibukkan mengokohkan tembok-tembok penghalang-nya dengan seseorang itu. harusnya seperti itu. Tapi nyatanya, beda. sambil tersenyum gentir.

Sambil nyemil snack, sambil mengingat cerita dengan dia dua tahun lalu.

Waktu itu. dia bercerita tanpa pernah ragu lagi kepada orang lain seperti yang terjadi pada beberapa tahun lalu. Apakah saya sudah termasuk definisi teman bagi dia? ah, saya berharap ia benar. Karena punya seorang teman seperti dia adalah sesuatu yang langka. Kalau boleh dibilang, dia yang paling peka dan peduli dibandingkan yang lain. yang paling sabar dengar cerita saya yang begitu-begitu saja. Dia pendengar yang baik. Matanya selalu berbinar-binar kalau saya bilang pengen bercerita sedikit. Jangan bilang saya menduakan Dia Yang Di Atas. Dalam sejarah pertemanan yang saya bangun, dia adalah salah satu orang yang paling peka dan peduli dan mau denger apa aja.

Dengan kesibukan barunya, seberapa seringnya dia mencoba untuk mencabut tunas-tunas itu, tak menghiraukan tunas-tunas yang tumbuh itu. Tetap saja kalah. Dia merasa capek, tidak hanya fisiknya yang telah dipakai beraktivitas satu hari penuh, tapi hatinya juga ikutan beraktivitas dengan dosis yang mungkin lebih besar dari fisiknya. Dia diam. Dan dalam diamnya, dia tersadar bahwa hatinya masih belum tergantikan. Hatinya masih belum kosong dari kenangan seseorang itu. dan dengan suara lirih, ia terus-terus meminta kepada Tuhannya untuk melepaskan dan melapangkan hatinya dengan hal-hal yang baik saja. Kalau sudah waktunya bertemu, ya pasti ketemu. Kalau sudah waktunya. Waktu terbaik menurut Sang Pemilik Hati. Bukan menurut yang lain.  Itu kata-kata yang sering dia ucapkan untuk menghibur hatinya, untuk meyakinkan hatinya, untuk memotivasi hatinya.

Hal apa yang bikin dia susah banget lupa? Hal apa yang istimewa dari diri seseorang itu dibandingkan orang lain yang dia temui? Saya juga penasaran, dan waktu itu saya beranikan diri untuk bertanya.Sebenarnya ga ada yang istimewa banget sih dari seseorang itu. kalau dari segi materi dan fisik ya. Tapi, ada sisi yang lain yang mungkin tidak dia temui atau belum dia temui dari orang-orang lain selama ini. Sebut saja cara berpikirnya, kesederhanaannya. serta, hal-hal yang menjadi kesukaan seseorang itu, adalah hal-hal yang yang selalu dia sukai juga, hal-hal yang selalu ingin dia lakukan dan belajar. Sesederhana itu kata dia.

Waktu itu saya mengangguk-ngangguk. Saya pun merasa ikutan senang dengan orang-orang seperti itu. ga mudah buat ketemu orang-orang seperti itu. menurut saya. Baiklah, mungkin itu hal sederhana bagi orang lain, tapi bagi dia itu adalah hal luar biasa. Pantas saja dia susah berpindah, hobi dan kesukaannya begitu mirip. Gila buku

Itu cerita tentang dia tahun kemarin. Dan setahun berikutnya, dia datang lagi. Kali ini dengan senyum dan ekspresi wajah yang beda.

Cerita bahagia kali ini. lebih bahagia dari cerita-cerita sebelumnya. Saya kira dia akan bercerita bahwa sebentar lagi dia akan berangkat ke luar negeri. Ke salah satu negara impiannya sejak dulu. Yaitu Bagian Eropa Tengah. Yang berbatasan langsung dengan 9 negara lainnya. Tapi saya salah, saya keliru. Bukan itu kabar gembira yang akan dia sampaikan waktu itu.

Dia tersenyum, dan berseru. Ada satu hal yang menjadi kuasa dia, yaitu memilih suka atau kagum dengan seseorang. Memilih untuk terus menyimpannya, memilih untuk terus mengingatnya. Tapi, ada satu hal juga yang tak kuasa dilakukan yaitu melepaskan kejadian masa lalu dengan keinginan waktu itu juga tanpa merasa sakit atau kecewa, melupakan seseorang, mengusirnya pergi, mencabut tunas-tunas rasa itu hingga keakar-akarnya. Dia tidak kuasa melakukan itu sendirian.

Terimakasih banyak katanya waktu itu. Seandainya nasehat-nasehat itu dia abaikan, mungkin hari itu wajahnya tidak akan seceria itu. Wajah ceria seperti itu menandakan bahwa hatinya juga lebih ceria. Lebih baik-baik saja. Iya, dia berseru pelan. Mengatakan bahwa dia sudah berdamai dengan hatinya. Dia sudah berdamai dengan kenangan masa lalunya. Dia sudah ikhlas menerima dan mempersilahkan potongan kenangan masa lalu itu menyapa saat dia sibuk, saat dia sendiri, atau saat dia merenung. Dia biarkan ia datang perlahan. Dia menerimanya dengan senang hati. Dia menerimanya dengan senyuman. Dia mengakuinya bahwa dia pernah suka dengan seseorang itu. Setelah itu, dia mulai bercerita kepada Dia, dengan suara pelan, dengan perasaan jujur sejujurnya. Dia yang Maha Baik, Pemilik Hati, setelah bertahun-tahun dia coba melupakan, menjauh dan segala macam cara dilakukan nyatanya sia-sia. Siluet-siluet masa lalu malah sebaliknya, makin jelas teringat.

Waktu itu, saya pun terharu. Mata yang selalu berbinar-binar itu sudah meneteskan bulir air yang tak bisa ditahan lagi. Kalau kemarin-kemarin wajah itu terlihat sedih dan sedikit sakit, beda dengan malam itu. boleh dia terlihat tersedu-sedu tapi tidak pada aura yang terpancar. Itu aura bahagia, aura kemenangan yang dia dapatkan dari sekian lamanya berperang dengan segumpal daging dalam dirinya.

Saya memeluk dirinya. Menepuk-nepuk pelan pundak kuatnya.
Selamat datang sosok baru. Dia yang Maha Baik sudah berbaik hati melepaskan kenangan itu menjauh dan berpindah dari hatinya. Menguap ke langit-langitNya.  

Waktu itu adalah salah satu waktu terbaik saya yang akan menjadi kenangan terbaik pula. Dan, sekarang saya dan dia sedang menjalani kehidupan masing-masing. Masih sering keluar dan cari makan bersama. Melakukan hal-hal yang menjadi kesukaan masing-masing. Bahagia? Alhamdulillah saya dan dia bahagia. Bahagia bisa bertemu dan berbagi dengan orang macem dia  ini.

Saya ga tahu ending dari dia dan seseorang itu akan bagaimana. Kita tunggu saja nanti.
Dan, saat cerita ini selesai saya-pun masih meminta dia untuk membaca lagi. Terimaksih teman, sudah datang dan menjadi inspirasi dari cerita saya untuk pertama kali ditahun 2018, setelah sekian bulan berlibur.

See You semuanya, di cerita selanjutnya.

:) :) :)

Malang, 17/25/03
At Lawang Sewu Semarang. Banyak view bagus buat foto sih disini. WKWKWK


Komentar

  1. Yaaah yaaah. Harus di akui masa sekolah, masa anak sekolah dan masa anak raaasaaaa. Rassaa ?. Dan bisa di bilang tunas itulah.


    Masih nunggu cerita rasa " tunas " yang sesungguhnya dari penulisnyaa. Yang jelas bukan pengalaman sahabatnya. Heheheeee

    Istiqomah selaluuu semester tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkwkwk.. hayo loh..

      aamiin. istiqomah wajib yaaaa. wkwkwkkw

      Hapus

Posting Komentar