Percakapan
terakhir adalah 2 minggu lebih 3 hari yang lalu selama kurang lebih 2 jam.
Sudah pasti, obrolanya dengan perempuan yang ia hormati begitu beragam.
Percakapan yang semakin hari semakin menunjukkan adanya peningkatan baik dari
segi durasinya yang biasanya hanya beberapa menit sekarang ngobrol 1 jam serasa
baru 10 menit. Segi bahan obrolannya yang biasanya jika satu tema selesai maka
selesailah sudah percakapan itu, tidak ada bumbu ABCDE ini itu untuk bisa
berlama-lama, tapi sekarang terlihat begitu hidup dan dinikmati. Satu sama lain
sepertinya saling mengambil inisiatif untuk menciptakan topik baru dan baru
lagi agar percakapan itu tidak segera berakhir. Dua segi yang benar-benar
menjadikan keduanya bisa saling dekat, dan mengundang rindu jika jeda
bercakap-cakapnya terlalu lama.
Kali
ini, jeda bercakap keduanya cukup lama. 2 minggu lebih 3 hari. Waktu yang cukup
membuat ia tidak tenang dan terus kepikiran di tiap menyelesaikan rutinitasnya.
Sama halnya dengan utang yang harus dibayar, rindu pun juga begitu. Ia
memutuskan kembali membuka percakapan dengan perempuan yang ia hormati,
walaupun ia tahu jika pada waktu tersebut bukan waktu yang paling tepat karena
masih terhitung jam kerja. Beberapa saat kemudian, terdengar suara di seberang
sana memberi salam. Ah, setidaktenangan yang ada selama beberapa hari kemarin
itu pun segera menguap, berganti denga rasa senang juga haru. Akhirnya, suara
itu terdengar kembali setelah lama tersesat di udara. Suara yang tidak merdu
memang, tapi mampu menenangkan. Senyum terukir pada bibirnya, wajah terlihat
senang sekali, apalagi hatinya. Rindu itu terbayar sudah. Lupakan soal
rindu-rindu yang akan kembali tumbuh.
Mendengarkan
cerita perempuan yang ia hormati adalah satu hal yang menjadikan ia senang dan
kembali semangat untuk beraktivitas. Tapi, kali ini, yang keduanya cakapkan
secara tidak sadar membuat ia hari itu galau sekali. Hatinya sedih dan juga
terluka, pikirannya berantakan. Ia kacau didalam. Tatapan matanya kosong, tak
fokus dengan yang ia lihat. Percakapan hari itu benar-benar membuatnya kembali
mempertanyakan impiannya dengan kenyataan yang ada di lapangan. Percakapan hari
itu membuatnya menunduk dan diam-diam matanya berkaca, jangan ditanya kabar
hatinya, bagian paling penting dalam tubuhnya itu lebih dulu menangis.
Tentang
isi percakapan, seperti biasanya. Hanya saja kondisi ia saat itu sedang dalam
keadaan yang begitu membutuhkan asupan dukungan yang luar biasa dari
orang-orang terdekatnya. Kondisi ia yang sedang berusaha membangun keyakinan
dan kepercayaan diri pada jalan yang ia ambil. Tapi, kelirunya, ia tidak pernah
dengan terus-terang untuk mengatakan bahwa ia sedang butuh dukungan, sedang
butuh ditopang, sedang butuh diyakini dan dipercayakan pasti bisa dan tepat kok
sama pilihan yang ada, tentunya dengan konsekuensi sendiri. Keliru, berharap
perempuan yang ia hormati mengerti apa yang ia rasakan padahal ia tak pernah
dengan benar menyampaikan impiannya. Keliru, berharap perempuan yang ia hormati
sedikit bersabar menunggu ia berjalan menaiki anak tangga impiannya satu
persatu. Keliru, berharap perempuan yang ia hormati sedikit melebarkan sayap
pengertiannya terhadap perubahan lahan menjemput rezeki tidak hanya sebatas
tempat itu-itu saja. Ia keliru, banyak berharap tapi harapannya belum disampaiakan
dengan baik kepada perempuan yang ia hormati.
Hati
yang semakin menangis, ketika ia mendengar seru gemes sekaligus kecewanya
seseorang yang paling ia takuti hilang dari penglihatannya. Hati yang semakin
menangis, ketika ia tahu bahwa begitu rapuh dan penakutnya ia untuk
menyampaikan semua impiannya dengan baik dan pelan-pelan kepada orang-orang
yang ia cintai. Tersebab ketikberaniannya menyampaikan keinginan baiknya
tersebut, menyebabkan orang-orang yang ia cintai tidak tahu maunya, tidak bisa
mendukungnya dengan tepat, tidak bisa jadi sandaran sesaat yang baik.
Kelirunya, ia berharap sebaliknya.
Percakapan
kali itu menamparnya dalam sekali. Ia beraktivitas, tersenyum, tertawa,
mengobrol, mengakrabkan diri, terlihat bahagia tanpa ada masalah yang berarti. Sepandai-pandainya
tupai melompat, pasti pernah jatuh juga. Begitu juga dengan ia hari itu,
sepandai-pandainya ia berpura-pura tidak memikirkan percakapan seru gemes dan
kecewa orang-orang yang ia cintai, nyatanya lelah juga. Seperti kaset rusak,
percakapan itu memutar tanpa henti dalam pikiran. Menggulung hal-hal lain,
mencampur aduk, berantakan, kacau dan tidak beres. Mencari tempat untuk
menangkan dan meleraiakan kekusutan yang ada. Ia harus menghentikan
kepura-puraanya, lalu segera dengan baik hati menerima nyata yang ada. Membuka
pintu hati yang lebar sekali, menyiapkan ruang terluas yang pernah ada, lalu
menarik satu bersatu benang-benang pikiran itu. Hingga ia tersenyum kecut.
Sadar bahwa sejak seuasai percakapan kali itu ia sedang menipu diri sendiri dan
membiarkannya dan menganiaya dirinya.
Ia
sadar. bahwa seberapa pun pahit obat itu, ia harus menelannya atau meminum
habisnya walau terpaksa, agar bisa sembuh dan segar kembali. Seperti kali ini,
bahwa seberapa pun seru kecewanya, amarahnya, ajarannya, nasehatnya, masa lalu
itu, ia harus dengan baik hati menerima semua itu, merangkulnya dan memeluknya
walau begitu terpaksa, agar bisa sadar bahwa kejadian itu adalah masa-masa
terbaik yang ia miliki selama masa hidupnya, sampai pada hari itu.
Menepi.
Menenangkan diri. Ia lalu menemukan kesadarannya untuk berhenti tidak menerima
kejadian-kejadian yang terah berlalu.
Komentar
Posting Komentar