Dear kamu,
Yang sore ini sedang
duduk di antara perempuan lain. Perempuan-perempuan yang sedang asyik mengobrol
sembari menunggu waktu berbuka puasa. Di depan mereka sudah ada beberapa kotak
nasi, minuman hangat yang baru saja di seduh, dan juga beberapa biji roti dan
air mineral. Kamu sendiri, seperti biasanya sok-sok-an menikmati suasana itu,
mencoba membangun suasana untuk menyatu dan tenang dengan keadaan dalam masjid
tersebut, mencoba mengamati aktivitas sekitar, benda-benda yang ada, lalu
mencoba menyimpan rapinya dalam ingatan, tak jarang juga kamu abadikan pada
note di HP, berharap besok akan jadi tangga awal dalam bercerita. Dan
terjadilah, saat ini, hingga kalimat terakhir pada paragraf ini adalah bentuk
panjangnya. Berharap masih ada kalimat-kalimat berikutnya.
“Mbak, puasa”
Perempuan dengan jilbab warna kuning kunyitnya, berkacamata, membuyarkan kamu
dari lamunan tentang kalimat apalagi yang harus ditulis pada note HP tersebut.
“Saya hari ini
kebetulan tidak puasa, Bu” Ah. Sebetulnya bukan kebetulan, tapi memang sengaja
tidak puasa karena sore-sore gini ada jadwal mengajar adek SMA yang akan
melaksanakan ujian masuk PTN. Lemah sebenanarnya. Lemah sekali. Gara-gara itu,
jadi alasan untuk tidak berpuasa. Kamu tersenyum dan mengangguk serta berkata
terimakasih kepada perempuan berjilbab kuning, berkacamata itu.
“Mbak mau kopi? Ini
rotinya juga silahkan diambil, Mbak. Gak apa-apa” Oh. Orang baik ada
dimana-mana. Tampaknya perempuan yang dipanggil Ibu tersebut ingin berbagi, dan
kamu yang kebetulan saat itu juga sedang lapar, membulatkan mata dan berseru
riang dalam hati. Tampak malu-malu, ingin menolak tapi sepertinya tidak baik
menolak rezeki. Kamu ambil satu, roti isi kacang ijo, dan segelas air mineral.
“Terimakasih lagi,
Bu.” Seru kamu dengan penuh haru. Bahagia gitulah ceritanya.
“Beneran tidak mau
kopi, Mbak? Atau mau saya buatkan saja?” Tawaran kopi yang ketiga kalinya. Kamu
sudah mulai goyah dan tergiur. Hampir mengangguk. Namun, tak jadi mengangguk
karena kamu ingat bahwa akan ribet juga untuk sekadar minum kopi hangat di saat
waktu magrib segera tiba beberapa menit lagi, belum lagi kamu sudah ada wudhu.
Berat pula harus mengulang wudhu. Berat karena ruangan wudhunya di lantai satu,
sedang tempat sholatnya ada di lantai dua. HAH. Emang dasar. Rasa malas yang
perlu di pangkas habis walaupun tidak mungkin mudah. HAHAHA.
“Oh tidak, Bu.
Terimakasih. Saya kebetulan mau ngajar setelah ini di perumahan belakang toko
pusat oleh-oleh. Jadi, kalau minum kopi saya takut telat sampai sana nya, Bu”
Berharap perempuan berjilbab kuning tak merasa gimana-gimana telah di tolak
untuk tawaran kopinya. Kopi hangat, waktunya juga pas banget, setelah hujan
lebat. Kamu tergiur. Tapi untung kamu malas.
Lalu, kamu dan perempuan
berjilbab kuning mengangguk iya
bergantian saat saling memberikan pertanyaan. Kamu ditinggalkan, perempuan itu
kembali mengobrol dengan dua karibnya yang sedari tadi juga mengobrol. Ada
perempuan berjilbab merah dan berjilbab hitam.
Kamu tenggelam dengan
HP, perempuan-perempuan itu juga. Asyik sekali bercerita.
Baru selesai satu
paragraf, adzan magrib dikumandangkan.
Maka, nikmat mana
lagi yang kamu dustakan. Di saat kedua mata kamu memandang dengan penuh haru
(ada kebahagian tersendiri) terhadap perempuan-perempuan tadi yang tersenyum,
mengucap alhamdulillah, berdoa, lalu menegukkan kopinya. Proses pembatalan
puasa alias berbuka puasa. Hehe. Ritual yang akan kamu dan seluruh umat muslim
di seluruh penjuru dunia merasakannya secara serentak kurang lebih 1 mingguan
lagi. Bulan Ramadhan tiba. Menjelang bulan yang entah mengapa, keinginan untuk
pulang lebih menggebu dari bulan-bulan lainnya. Semoga sampai di bulan Ramadhan
tahun ini. Aamiin.
Lama-lama, ruangan itu jadi rame. Ibu-ibu
pengajian (seusainya sholat magrib lanjut pengajian), ibu-ibu pekerja yang
tampak lelah, anak-anak sekolah yang seragam pink (duh manis sekali kalian
dek), anak kuliahan juga perempuan pekerja lainnya.
Allahu Akbar, Allahu
Akbar
Asyhadu allaa illaaha
illallaah
Asyhadu anna
Muhammadar rasulullah
Hayya ‘alashshalaah
Hayya ‘alalfalaah
Qad
qaamatish-shalaah, Gad qaamatish-shalaah
Allahu akbar, allahu
akbar
Laa ilaaha illallaah
Iqamah selesai dikumandangkan.
Imam sholat sudah diposisinya. Perintah meluruskan shaf-shaf sholat terdengar. Lalu,
kalimat takbir pertanda sholat dimulai terdengar dari imam. Pertanda, kamu dan
puluhan manusia lainnya magrib itu memulai berbincang dan menghadap kan wajah serta
jiwa (harusnya) kepada Tuhan. Yang Maha Berkuasa dan Maha Besar. Seraya
berseru, Tuhan kami datang penuh dengan salah dan harapan. Tuhan kami datang
dengan penuh cemas dan khawatir. Tuhan kami datang dengan sepotong hati yang lelah.
Tuhan.
Sejauh-sejauhnya kami pergi, sesibuk-sibuknya kami dengan urusan dunia yang tak
pernah usai, sedekat-dekatnya kami dengan sahabat dan makhluk Engkau yang lain,
sesayang-sayangnya kami kepada kedua orangtua dan saudara yang lain, tempat
kami untuk berpulang hanyalah kepada Engkau satu-satunya. Jiwa-jiwa kami tahu
rumahnya sendiri. Jiwa-jiwa kami tahu tempat berteduh paling nyaman. Jiwa-jiwa kami tahu
tempat menumpahkan keluh kesal yang menjanjikan solusinya. Jiwa-jiwa kami akan
berpulang dan tertuju kepada Engkau. Dengan cara yang sangat mudah sekali.
Hanya 5 menit, itupun sudah cukup lama. Iya, dengan sholat. Sujud. Rukuk. Maka
semua masalah dan beban yang kami bawa saat menuju rumah Ibadah hilang
seketika, atau hati tenang seketika. Ada yang ringan rasanya. Begitu
menenangkan. Membisikkan ke bumi, maka akan sampai di langit. Menggetarkan Arsy-Nya.
Mengundang belas Kasih dan RahmatNya. Dan, bisikkan itu tinggal menunggu waktu,
bertamu dan mengetuk rumah-rumah kami. Membuat kami tak bisa berkata apa-apa
lagi kecuali dengan ucapan syukur dan rasa haru. Dan, Tuhan akan selalu baik,
tanpa memandang bahwa hari ini grafik dosa itu bertambah lagi dan lagi.
Seusai sholat magrib,
kamu lalu bersegera melipat mukenah dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Semakin ramai. Tirai-tirai pembatas sholat segera di pinggirkan ke ujung tiang.
Pengajian malam segera di mulai. Ibu-ibu tadi sudah duduk berbaris rapi dengan
meja kecil dan alquran di depannya. Pemateri yang akan mengisi malam itu sudah
siap dengan laptop, LCD, dan mic-nya. Kamu, bersegera meninggalkan Rumah-Nya.
Berpamitan dengan senyum ramah kepada orang-orang di ruang itu. Suasana jiwa,
tak akan pernah bisa di jabarkan dengan baik lewat kata-kata. Tenang.
Sekali lagi. Tuhan.
Sejauh-jauhnya kami menenggelamkan diri dalam urusan dunia, jiwa-jiwa kami akan
menuntut pulang. Jiwa-jiwa kami akan menuntut hak nya. Menuntut untuk rehat sejenak.
Dan, Engkau, Tuhan.
Tak pernah menggerutu
dan memprotes tentang bagaimana kondisi kami-kami datang kepada Engkau. Engkau
hanya akan bahagia, karena akhirnya hamba-hamba Mu itu pulang juga, pada Rumah
yang seharusnya. Yaitu pada Engkau, Tuhan. Yang telah menciptakan dan menjamin
segala kebutuhan hidup.
Tuhan. Bagaimana jika kami tak juga pulang barang sejenak ke Rumah Mu?
Komentar
Posting Komentar