Bab 1: Rumah & Tetangga


"Boleh jadi dia hanya menganggap kamu teman kecil sekaligus tetangganya. Gak lebih dari itu." komentar Meta di suatu waktu saat kami mengobrol sambil menyelesaikan tugas kuliah di tempat biasa, rumah.
"Begitu ya, Met?”  Komentar Meta barusan adalah komentar yang sama, tak pernah berubah saat kami akan mengobrol atau sedang curhat tentang teman kecil sekaligus tetanggaku.
"Mendingan kamu siapin hati buat yang pasti-pasti aja sih, Ani." Seru tegas Meta untuk kali sekian.
“Akan susah, Met. Kamu tahu sendiri bagaimana aku kalau urusan melupakan.”
“Akan susah jika kamu tidak memulainya. Yang kamu butuhkan hanya keberanian untuk melangkah” 
Aku mencerna lagi tiap kalimat yang Meta sampaikan. Ruangan itu mendadak sepi. Hanya bising dari suara kendaraan di jalan depan rumah. Salma yang sedari tadi sedang serius menonton film, ikut berseru juga.
“Biarpun kamu susah melupakan, tapi kamu gampang berpura-pura, Ani” Kalimatnya membuat dahiku mengkerut, juga Meta. Salma, masa bodoh dengan ekspresi kami berdua.
“Maksudnya?” tanyaku meminta penjelasan.
“Iya. Selama aku mengenal kamu, akting berpura-pura kamu juara. Kamu bisa tersenyum ceria, padahal aku tahu kamu lagi sakit hati karena suatu hal. Atau saat itu, kamu sedang kesusahan, tapi waktu si Didin minta bantuan kamu langsung aja menerimanya. Masih banyaklah sifat kepura-puraan kamu yang membuatku salut” itu penjelasan Salma.
“Ya, aku setuju.” Meta ikut berseru.
Aku menatap keduanya bergantian.
“Aku punya alasan mengapa bertindak seperti itu” Kataku.
“Nah. Coba kamu cari alasan untuk bisa melupakannya” Sergah Meta.
“Sebenarnya kamu sudah punya alasannya, Ani. Malah udah jelas. Cuman sedikit dari sifat egois kamu yang mempertahankannya” Salma juga ikut-ikutan.

Kehilangan kosa-kata. Tidak berminat lagi untuk melanjutkan obrolan tersebut. Aku tahu, dari semua yang diucapkan adalah benar adanya. Definisi bodoh atau apalah itu, mungkin sedang disematkan oleh mereka padaku. Susah payah menjadi alarm, yang diberi alarm masih tetap ngeyel. Malamnya, aku melewati malam dengan tidur-tiduran sambil membaca buku. Bulan ini, penulis favoritku menerbitkan buku barunya sekaligus tiga buah. Ketiga-tiganya segera ku buru ke toko buku terdekat, esok harinya. 

***
Keesokan harinya.
“Melani, bangun. Sudah subuh” Itu suara Meta yang membangunkan aku.
“Haaaaaykk, iya iya” jawabku dengan suara berat dengan kondisi setengah sadar.
“Salma, bangun. Sudah subuh.” Giliran Salma yang dibangunkan. Yang dijawab serupa denganku.
“Haaaaayk, iya iya” suara berat salma juga terdengar.
Panggilan pertama tak mempan untuk kami berdua yang masih menikmati empuknya kasur dan hangatnya selimut. 
"Heh, banguuuun. Sholat." panggilan kedua dari Meta yang kembali dientengkan oleh Salma dan aku. Dalam posisi tertidur, kesibukan Meta sepagi buta tersebut masih terpantau oleh indra pendengarku. Seperti hari itu, entah jam berapa, tapi kemungkinan masih sangat pagi sekali suara air dari dapur terdengar, juga beberapa peralatan masak yang terkena gesekkan satu sama lain. Pertanda ada yang sedang memasak. Biasanya, Meta selalu menyeduhkan teh hangat untuk kami berdua. Semakin lama semakin samar-samar terdengar kesibukan perempuan 20an tahun lebih itu. Aku mulai ingin kembali nyenyak. Tapi kembali gagal karena suara Meta kembali menyadarkan. 
"astagaaa, kalian masih berselimut diri. Bangun heh bangun kalian." tanpa basa-basi lagi, ditariknya selimutku lalu bergantian ke salma. Mata mengantukku masih mampu menangkap gerak-geriknya. 
“Bentar lagi, Met. Belum adzankan?” Aku mencari selimut yang ditarik Meta.
“sekarang udah jam 5. Tigapuluh menit lagi matahari mau terbit” Meta sengaja memberi tekanan pada tigapuluh menit lagi matahari mau terbit. Benar-benar ampuh untuk membangunkan aku dan salma.
Segera berlarian ke kamar kecil, masih setengah sadar lalu berwudhu, bergantian, lalu bersiap diri untuk melaksanakan sholat subuh. Meta yang sedang duduk di atas tempat tidurnya berseru.
“Memang enak jadi korban keisenganku” Meta cekikikan menahan tawa.
Kami yang sudah siap takbir, serentak menengok ke arahnya. Meta dengan tampak tak bersalahnya malah tertawa sambil menunjukkan jam dari hape.
04.02.
“METAAAAAA” suara teriakan kami berdua. Lalu bersungut-sungut. Berseru jahat sekali. Tega. tidak punya belas kasihan.
Meta menang, ia tak henti-hentinya tertawa hingga kami menyelesaikan sholat sunah beberapa rakaat.
Hari itu kami memulai pagi dengan penuh drama.

Selamat pagi.
Aku selalu menyukai waktu pagi. Jika sedang beruntung, melihat pemandangan langit yang berwarna jingga merekah pertanda fajar pagi sirna digantikan dengan cahaya kuning matahari akan terbit. Sebaliknya, jika tidak sedang beruntung, langit hanya dipenuhi oleh awan-awan, tidak menyurutkan aku untuk terus menikmati pemandangan pagi hari yang udaranya masih begitu segar. Pagi, di mana hari baru di mulai dengan harapan baru, semangat baru, senyum baru, juga cinta yang semakin besar. Pagi, otakku menjadi lebih encer, entahlah, membuat sajak-sajak di waktu pagi adalah pilihan paling tepat. Lihatlah, pada pagi hari ini pun sambil menatap pemandangan sekitar, satu sajak baru itu tercipta.
Kau yang memilih untuk diam,
Aku juga.
Kau yang memilih untuk terlihat tak peduli,
Aku juga.
Kau yang memilih untuk menciptakan jarak,
Aku juga.
Menjadi sama-sama payah seperti ini, lantas berharap lebih?
Suaraku yang sedang membaca ulang terhenti ketika seseorang telah berada di belakangku.
“Sang pujangga kita sedang membuat sebuah maha karya, Sal. Kamu tak ingin membacanya?” Goda Meta tidak ingin sendirian sehingga Salma diajak. Yang membuatku bersungut-sungut.
“Mau baca dong.” Sahut Salma dari dalam kamar.
“Cepetan ke teras samping sini, Sal.” Perintah Meta.
Aku menutup catatan. Dan, bergegas masuk. Salma lebih cepat tiba di depan pintu, dan menghalangi jalan masuk.  
“Sang pujangga kami, sajak apalagi yang kamu buat? Untuk dia seorang lagi?” kalimat mendayu-dayunya Salma membuat ku bergidig. Memeluk erat catatanku. Aku tahu, dibalik kalimat mendayu-dayu Salma ada niatan tersembunyi, yaitu merampas catatanku lalu bersama dengan Meta akan membacanya keras-keras hingga tetangga kami akan ikut mendengar dan tertawa. Tak jarang ikut berkomentar.
“Sang pujangga kita sedang galau” seperti di suatu hari yang lain, Meta dengan lantangnya berseru pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di lantai 2 rumahnya sekaligus berdekatan dengan teras samping rumah kontrakan kami. Dengan tetangga, kami sangat akrab.
“Oi, cepat-cepatlah kamu selesaikan skripsi biar segara menulis novel” Tetangga 1 kami yang berada tepat berhadapan dengan teras.
“Sekarang, Ani di dunia yang ku kenal bertambah satu pula” Tetangga 2 kami, Bang Mail beserta keluarga kecilnya telah lama menetap di kompleks tersebut.
“Siapa aja itu, Bang?” Sahut Meta.
Aku memandang sebel sekaligus kikuk, tak ingin juga melarikan diri masuk.
“Ani miliknya Raja Dangdut” Bang Mail memulai aksinya.
“Kedua, Bang?” Meta semakin menjadi-jadi. Inginku tepuk jidatnya. Hanya ingin.
“Ani miliknya Abang Mail ” yang saat itu juga suara teriakan dari istrinya untuk segera menjemur pakaian lalu belanja di pasar pagi.
Serentak kami tertawa, dan aku lupa bahwa aku sedang sebel. Tetangga yang lain pun ikut tertawa.
“yang ketiga, Bang?” teriakan dari tetangga lainnya.
“Ani miliknya ……” Abang Mail sengaja menjeda.
“Ani masih jomblo, Bang.” Sahut Salma. Semua tertawa.
“Bukan aku yang bilang, Dek” Seru Bang Mail. Ya skenarionya memang dibuat seperti itu.
“Oi, Bang. Anakmu menangis” itu teriakan kedua dari istrinya, Ani.
Sempurna sudah mereka berhasil menggodaku pagi ini.

Bersambuuuuuungggggggg....... 
Minggu depan sampai jumpa di Bab 2 :) 

Komentar

  1. Diambil dari kisah sendiri gak nih wkwkwkwk

    BalasHapus
  2. Mantap banget nih cerita bersambungnya. Kira-kira sampai berapa bab nih ceritanya? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak yani. YaAllah ga nyangka kak yani mampir ke blogku 😭 makasih banyak mbak. Cerita bersambungnya masih blm pasti nih kak sampe bab berapa. Huhu

      Hapus

Posting Komentar