by google |
Lantunan ayat suci Al-quran dari speaker masjid di dekat
rumah jadi pengiring kegiatan para penduduk sekitar, termasuk para penghuni
rumah kontrakan bertingkat dua dengan cat tembok warna hijau pudar yang
terpagari oleh pagar besi warna hitam. Rumah tingkat dua, di mana lantai 1
berisi 2 kamar dan ruang kosong yang sepertinya ketika pertama kali rumah ini
dibangun berfungsi sebagai ruang tamu akan tetapi sekarang menjadi tempat parkir
motor. 1 kamar nomor 01 diisi oleh dua orang mahasiswa baru dari salah satu PTN
di kota dingin tersebut.
Kamar 02 ditempati oleh seorang perempuan yang sebulan
lalu telah menyelenggarakan acara pernikahannya, dan semua penghuni rumah kontrakan
tersebut ikut serta merayakan hari bahagianya. Jarak yang harus ditempuh cukup
jauh, menghabiskan waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil. Mobil milik Bapak
kontrakan yang kebetulan memang membuka jasa penyewaan tapi tanpa sopir, dan
Meta sebagai seorang yang serba bisa menjadi sopir selama perjalanan. Sebagai
perempuan yang telah menikah, hari-harinya tampak seperti jauh lebih bahagia
dan serba indah. Bagaimana tidak menyimpulkan begitu, ketika melihat dan
menyapa, Kak Wulan sapaan kami tersebut wajahnya selalu tidak lepas dari senyum
dan sumringah. Ngomong sama penghuni lain cuman terkait mau masak apa atau
ketika nyuci piring aja disemangatin dan disenyumin. Membuat penghuni lain
keheranan dan menggeleng-gelengkan kepala. Apakah aura pengantin baru akan
selalu begitu?
“Harap maklum ya adik-adik. Begitulah kalau sedang jatuh
cinta.” Seru seorang perempuan lainnya, tidak lain dan tidak bukan adalah teman
kuliah Kak Wulan selama menempuh kuliah pascasarjana di PTN yang sama dengan
penghuni kamar nomor 01. Seorang perempuan yang masih belum mengambil satu
langkah menuju pelaminan dengan kekasihnya walaupun telah saling mengenal
selama 7 tahun menempati kamar 04 yang berada di samping kamar 05 dan di
depannya kamar 03.
“Jadi, Kak Raya kapan nih
bakal mengakhiri masa sendiriya?” Fatiah, mahasiswa baru, satu angkatan dengan
Evi dan Afif -penghuni kamar 01- di PTN yang sama tetapi jurusannya berbeda
melontarkan pertanyaan yang memuakkan, tapi menjadi lelucon saja untuk para
penghuni kontrakan tersebut karena satu sama lain sepakat menganggap bahwa
semua yang berada satu atap di rumah tersebut adalah teman sekaligus keluarga
yang diarang untuk gampang terbawa perasaan. Kecuali kalau Meta dan Salma udah
mulai menggodaku dengan para tetangga lainnya, itu tidak masuk dalam
perhitungan tidak boleh bawa perasaan.
“Secepatnya kalau bisa. Hahaha. Udah ya, jangan tanya-tanya
lagi besok dengan pertanyaan membosankan itu. Yang lain gitu. Lulus kapan kek. Kapan
beli make-up baru kek. Hahaha.” Kak Raya berseru kepada Fatiah yang sedang
duduk di kursi sembari mengupas bawang untuk masakannya pagi tiu sebelum
kuliah.
“Wah, hati-hati loh Fat.
Kak Raya kalau marah, ngeri.” Meta memang seperti kompor. Tidak kepadaku tiap
pagi, juga kepada penghuni lainnya.
“Apaan sih, Met.
Ngompor-ngomporin orang saja pagi-pagi.” Kak Raya berseru dari kamarnya. Masih
merias diri, karena hobinya memang berjibaku dengan segala alat tempur permake-upan
Valid. Sebuah
pernyataan yang menggambarkan seorang Meta tiap pagi di rumah bertingkat dua
ini. Aku cekikikan sambil menyelesaikan cerita yang akan dibacakan nanti ketika
kelas Bahasa German berlangsung di kampus.
“Meta memang gitu, Kak. Parah, parah, parah.” Aku akhirnya
ikut serta dalam perbincangan pagi yang random
ini. Menarik, menurutku.
“Kan bener sih, kalau
Kak Raya marah, agak menakutkan. Ingat kejadian pas satu tas make-upnya disembunyikan oleh Kak Wulan?
Ingat gimana satu rumah dibuatnya bergidig tak berkutip. Dan…….” Belum selesai
ucapan Meta, Kak Raya segera memotong kalimatnya.
“Metaaaaaaaaaa. Jangan membuat gosip tak benar pagi-pagi.”
Teriakan Kak Raya dari dalam kamar. Yang saat itu juga diikuti oleh tawa
Fatiah, Meta, Kak Wulan, Afif yang baru saja bergabung ke lantai 2 di ruang
santai para penghuni kontrakan, dan juga aku.
Begitulah sepotong pagi aku dan para penghuni kontrakan
rumah bertingkat dua tersebut. Tidak setiap hari, dalam seminggu biasanya
obrolan random akan terjadi jika
semua penghuninya lagi ada di rumah, dan tidak ada tugas yang harus
diselesaikan dengan segera atau boleh jadi ada hanya saja tugasnya telah usai
sebelum pagi hari tiba. Obrolan random yang
paling sering dilakukan adalah ketika sabtu malam, dan besok paginya, hari
minggu, dihabiskan untuk kerja bakti. Bersih-bersih.
“Hai semuanya, pada ngobrolin apa? Kok terlihat seru?” Salah
satu penghuni kamar 05 baru saja tiba di tengah-tengah aku dan yang lain dengan
membawa satu keranjang berisi belanjaan. Ada sayur, tahu tempe, ikan, juga
bubur sum-sum tanpa mutiara kesukaan aku. Sengaja menitipkan padanya, karena
hari senin pagi adalah jadwalnya berbelanja untuk keperluan makan hari itu.
“Mohon maaf, tidak ada siaran ulang.” Seruku pada Salma yang
berjalan ke arah meja untuk menyimpan keranjaan belanjanya. Kini meja yang
berada di depan Fatiah penuh dengan bahan masakkan.
“Pelit kali. Jangan-jangan ngomongin aku ya?” Salma
menyelidik ke Fatiah yang lebih dekat. Yang ditonjok dengan kalimat menyelidik
segera menggeleng keras dan menahan tawa.
“Trus, apa dong?” Salma masih mengejar. Kebiasaan, ia selalu
jadi yang terakhir mendapatkan kabar terbaru di rumah tersebut, “Jangan-jangan
ngegosipin lampu teras depan yang dua hari ini belum diperbaiki sama bapak
kontrakan ya?” Kali ini kalimat menyelidiknya sungguh jauh dari yang
dibicarakan. Bagaikan langit dan bumi, jauh sekali.
“Eh iya, untuk kamu bilang, Sal. Ani, tolong hubungin bapak
kontrakan lagi dong. Kan kamu biasanya penghuni teras itu untuk menikmati pagi,
lalu membuat sajak-sajak untuk dia seorang.” Suara itu tampak tidak asing lagi
ditelingaku, bahkan sudah muak mendengar suaranya, tapi untung merdu. Inginku
melemparnya dengan pulpen bertinta cair yang sedang dipegang.
“Ya, nanti ku hubungin.” Jawabku pendek. Agar Meta dan
obrolan ngawurnya tidak berimbas kepadaku, lalu seperti pagi-pagi sebelumnya
jadi mainan godaan penghuni lain.
Selesai dengan obrolan random,
tugas ceritaku juga selesai. Lalu, bersiap-siap untuk mandi dan ngampus.
Seperti dalam sebuah organisasi, kontrakan yang ku tinggalin
ada susunan pengurusnya juga. Meta, yang barusan minta tolong kepadaku untuk
menghubungi bapak kontrakan dalam rangka meminta lampu teras samping segera diperbaiki
adalah sebagai ketua kontrakan. Salma sebagai sekretaris sekaligus bendahara,
dan aku bersama Kak Wulan, Afif, masuk di bagian seksi memenuhi kebutuhan
bersama. Yang bakal ngecek gas masih ada isinya apa sudah kosong, lampu mati,
air mati, dan berhubungan dengan sesuatu yang jadi kebutuhan bersama, sedangkan
Kak Raya, Fatiah dan Evi masuk di seksi kebersihan. Jika ada yang mengotori
tanpa membersihkan kembali maka akan dikenai denda. Sedetail dan sedekat itu
kami membina kehidupan berkontrakan. Udah kayak Kak Wulan sama kekasihnya aja,
bedanya mereka berdua membina kehidupan berumah tangga, kami membina kehidupan
masing-masing agar bisa menyenangkan satu sama lain.
Selama 7 hari dalam seminggu, ada satu hari yang menjadi
hari paling nyebelin oleh sebagian besar penghuni bumi, yang lebih tepatnya
berprofesi sebagai pekerja kantoran, karyawan, dan sebagainya, ia adalah hari
senin. Terkait pendapat ini, boleh tidak sepakat juga. Betapa dalam kurung
waktu yang lalu, tampak penghuni bumi mengeluh dengan hari tersebut, tidak lupa
sedikit memaki-maki dengan guyonan, tapi lambat laun, ketidaksukaan terhadap
hari senin mulai teratasi dengan adanya beberapa pekerja lepas di berbagai
sosial media yang peduli dan memutuskan menyampaikan sudut pandnag yang lain
terkait hari senin. Lambat laun, stigma buruk hari senin memudar walaupun tidak
benar-benar hilang berganti jadi stigma baik. Aku menjadi salah satu penghuni
bumi yang memiliki ketidaksyukuran terhadap hari senin, juga bersungut-sungut
dengan hari tersebut. Maklum ketika semester satu dan dua seharusnya tidak ada
kelas jam 7 pagi di hari senin, tetapi
tiba-tiba jadi ada. Ialah jadwal pengganti dari mata kuliah; matematika dasar.
“Matematika itu gak bisa kalau dipelajari ketika siang-saing
atau sore. Tidak efektif. Materi banyak yang tidak terserap oleh kalian.” Kata
dosenku suatu hari kepada para mahasiswa baru yang penuh kepolosan yang
sebenarnya bukan polos, lebih tepatnya lagi masa penyesuaian diri di dunia
kampus.
Para mahasiswa baru yang juga termasuk aku, mengangguk
mantap. Menyetujui. Dosen yang berdiri di depan seperti mendapatkan angin
segar, dan pintu terbuka lebar untuknya mendapatkan persetujuan pergantian
jadwal kelas.
“Kalau 1 sks diganti ke hari senin jam 7, apa tidak
keberatan?” Matanya menyampu wajah-wajah mahasiswanya dari ujung ke ujung,
depan ke belakang lalu ke tengah lagi, “Sedangkan, 2 sks lainnya tetap di
jadwal semula.” Lanjutnya.
Para mahasiswa baru berdiskusi, tampak serius, beberapa ada
yang mengangguk langsung, beberapa ada yang berdiskusi, beberapa ada yang masa
bodoh, dan ada juga yang menggeleng. Aku sendiri ikut menangguk saja, lalu ikut
berdiskusi juga. Menyedihkan tidak punya pendirian yang tegas.
Masalah yang
sama, bahkan sampai besok-besoknya. Ketidaktegasan menjadi sumber kegemesan
sahabatnya, Meta dan Salma.
“Bisa ya hari senin pagi?” pertanyaan yang sepertinya lebih
cenderung jadi pernyataan dan sedikit mengandung perintah itu disetujui oleh
mahasiswa baru tanpa memprotes banyak, dan tanpa memaki hari senin. Setelah 2
semester berjalan, hari senin menjadi hari yang selalu diingat oleh kelas kami.
Pagi-pagi, harus ke kampus, dan belajar matematika. Sudah seperti melanjutkan
sekolah SMA jadi kelas 13. Hanya saja yang berbeda adalah tempat belajarnya,
pakaiannya yang bukan lagi seragam, pengajarnya yang jauh lebih santai dan
tidak menuntut banyak, dan teman-teman belajar satu sama lain yang berasal dari
berbagai provinsi dan kota di Indonesia.
Begitulah hari-hariku menjalani masa perkuliahan selama 2
semester awal setiap hari senin. Pada semester selanjutnya, ku kira akan bebas
dengan jadwal hari senin jam 7 pagi
dalam 7 hari tersebut. Rupanya, aku harus menelan pahit keinginan bebas di hari
senin pagi dan sekaligus mulai merubah stigma buruk hari senin menjadi stigma
baik dan penuh kesadaran menjalaninya.
Semester 3, dalam 7 hari, ada satu hari di mana ada jadwal
kuliah tambahan yang tidak masuk dalam kurikulum program studiku, dan hanya
diisi oleh 5 mahasiswa, dengan seorang pengajar. Laki-laki berusia sekitar 45
tahun, berpostur badan tinggi, rambut yang agak pendek dan tidak semuanya hitam
karena tampak beberapa ada yang telah memutih, dan aura yang terpancar dari air
mukanya mampu membuat tenang orang-orang melihatnya. Laki-laki yang telah
menghabiskan 6 tahun di German dalam rangka menyelesaikan S3-nya tersebut bisa
di sapa dengan menyebutkan namanya saja. Pak Raden, begitulah para para
pengajar dan mahasiswa memberi salam atau menyapa ketika bertemu.
“Guten Morgen. Wah,
terimakasih sudah bersedia menunggu saya.”
Sapa Beliau pada kami yang sedang duduk di kursi, di depannya ada meja
persegi empat panjang, lalu di atas meja ada LCD yang digunakan untuk media
belajar atau sharing pagi kami di
hari senin ketiga dalam sebulan awal semester ganjil.
“Morgen.” Jawab
kami serentak.
Selama 1 jam ke depan di ruangan yang kira-kira seluas 3 x 4
meter ini akan dipenuhi oleh kata-kata berbahasa german, yang dibumbui oleh
canda tawa karena kesulitan mengikuti atau mengucapkan kata-kata berbahasa
german dari cerita yang telah dibuat. Ruangan ber-AC, di belakang kursi kami
terdapat 2 lemari besar yang terisi oleh berbagai macam map dan berkas-berkas,
entah masih dipakai atau tidak.
Bersambung…………………..
Sampai jumpa di Bab 3 ya. Kemungkinan akan rilis di minggu
kedua bulan april. InsyaAllah.
Komentar
Posting Komentar