Bab 2: Awal yang Menyebalkan sekaligus Menyenangkan


by google
Lantunan ayat suci Al-quran dari speaker masjid di dekat rumah jadi pengiring kegiatan para penduduk sekitar, termasuk para penghuni rumah kontrakan bertingkat dua dengan cat tembok warna hijau pudar yang terpagari oleh pagar besi warna hitam. Rumah tingkat dua, di mana lantai 1 berisi 2 kamar dan ruang kosong yang sepertinya ketika pertama kali rumah ini dibangun berfungsi sebagai ruang tamu akan tetapi sekarang menjadi tempat parkir motor. 1 kamar nomor 01 diisi oleh dua orang mahasiswa baru dari salah satu PTN di kota dingin tersebut. 

Kamar 02 ditempati oleh seorang perempuan yang sebulan lalu telah menyelenggarakan acara pernikahannya, dan semua penghuni rumah kontrakan tersebut ikut serta merayakan hari bahagianya. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh, menghabiskan waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil. Mobil milik Bapak kontrakan yang kebetulan memang membuka jasa penyewaan tapi tanpa sopir, dan Meta sebagai seorang yang serba bisa menjadi sopir selama perjalanan. Sebagai perempuan yang telah menikah, hari-harinya tampak seperti jauh lebih bahagia dan serba indah. Bagaimana tidak menyimpulkan begitu, ketika melihat dan menyapa, Kak Wulan sapaan kami tersebut wajahnya selalu tidak lepas dari senyum dan sumringah. Ngomong sama penghuni lain cuman terkait mau masak apa atau ketika nyuci piring aja disemangatin dan disenyumin. Membuat penghuni lain keheranan dan menggeleng-gelengkan kepala. Apakah aura pengantin baru akan selalu begitu?

“Harap maklum ya adik-adik. Begitulah kalau sedang jatuh cinta.” Seru seorang perempuan lainnya, tidak lain dan tidak bukan adalah teman kuliah Kak Wulan selama menempuh kuliah pascasarjana di PTN yang sama dengan penghuni kamar nomor 01. Seorang perempuan yang masih belum mengambil satu langkah menuju pelaminan dengan kekasihnya walaupun telah saling mengenal selama 7 tahun menempati kamar 04 yang berada di samping kamar 05 dan di depannya kamar 03.

“Jadi, Kak Raya kapan nih bakal mengakhiri masa sendiriya?” Fatiah, mahasiswa baru, satu angkatan dengan Evi dan Afif -penghuni kamar 01- di PTN yang sama tetapi jurusannya berbeda melontarkan pertanyaan yang memuakkan, tapi menjadi lelucon saja untuk para penghuni kontrakan tersebut karena satu sama lain sepakat menganggap bahwa semua yang berada satu atap di rumah tersebut adalah teman sekaligus keluarga yang diarang untuk gampang terbawa perasaan. Kecuali kalau Meta dan Salma udah mulai menggodaku dengan para tetangga lainnya, itu tidak masuk dalam perhitungan tidak boleh bawa perasaan.

“Secepatnya kalau bisa. Hahaha. Udah ya, jangan tanya-tanya lagi besok dengan pertanyaan membosankan itu. Yang lain gitu. Lulus kapan kek. Kapan beli make-up baru kek. Hahaha.” Kak Raya berseru kepada Fatiah yang sedang duduk di kursi sembari mengupas bawang untuk masakannya pagi tiu sebelum kuliah.

“Wah, hati-hati loh Fat. Kak Raya kalau marah, ngeri.” Meta memang seperti kompor. Tidak kepadaku tiap pagi, juga kepada penghuni lainnya.

“Apaan sih, Met. Ngompor-ngomporin orang saja pagi-pagi.” Kak Raya berseru dari kamarnya. Masih merias diri, karena hobinya memang berjibaku dengan segala alat tempur permake-upan

Valid. Sebuah pernyataan yang menggambarkan seorang Meta tiap pagi di rumah bertingkat dua ini. Aku cekikikan sambil menyelesaikan cerita yang akan dibacakan nanti ketika kelas Bahasa German berlangsung di kampus.

“Meta memang gitu, Kak. Parah, parah, parah.” Aku akhirnya ikut serta dalam perbincangan pagi yang random ini. Menarik, menurutku.

“Kan bener sih, kalau Kak Raya marah, agak menakutkan. Ingat kejadian pas satu tas make-upnya disembunyikan oleh Kak Wulan? Ingat gimana satu rumah dibuatnya bergidig tak berkutip. Dan…….” Belum selesai ucapan Meta, Kak Raya segera memotong kalimatnya.

“Metaaaaaaaaaa. Jangan membuat gosip tak benar pagi-pagi.” Teriakan Kak Raya dari dalam kamar. Yang saat itu juga diikuti oleh tawa Fatiah, Meta, Kak Wulan, Afif yang baru saja bergabung ke lantai 2 di ruang santai para penghuni kontrakan, dan juga aku.

Begitulah sepotong pagi aku dan para penghuni kontrakan rumah bertingkat dua tersebut. Tidak setiap hari, dalam seminggu biasanya obrolan random akan terjadi jika semua penghuninya lagi ada di rumah, dan tidak ada tugas yang harus diselesaikan dengan segera atau boleh jadi ada hanya saja tugasnya telah usai sebelum pagi hari tiba. Obrolan random yang paling sering dilakukan adalah ketika sabtu malam, dan besok paginya, hari minggu, dihabiskan untuk kerja bakti. Bersih-bersih.

“Hai semuanya, pada ngobrolin apa? Kok terlihat seru?” Salah satu penghuni kamar 05 baru saja tiba di tengah-tengah aku dan yang lain dengan membawa satu keranjang berisi belanjaan. Ada sayur, tahu tempe, ikan, juga bubur sum-sum tanpa mutiara kesukaan aku. Sengaja menitipkan padanya, karena hari senin pagi adalah jadwalnya berbelanja untuk keperluan makan hari itu.

“Mohon maaf, tidak ada siaran ulang.” Seruku pada Salma yang berjalan ke arah meja untuk menyimpan keranjaan belanjanya. Kini meja yang berada di depan Fatiah penuh dengan bahan masakkan.

“Pelit kali. Jangan-jangan ngomongin aku ya?” Salma menyelidik ke Fatiah yang lebih dekat. Yang ditonjok dengan kalimat menyelidik segera menggeleng keras dan menahan tawa.

“Trus, apa dong?” Salma masih mengejar. Kebiasaan, ia selalu jadi yang terakhir mendapatkan kabar terbaru di rumah tersebut, “Jangan-jangan ngegosipin lampu teras depan yang dua hari ini belum diperbaiki sama bapak kontrakan ya?” Kali ini kalimat menyelidiknya sungguh jauh dari yang dibicarakan. Bagaikan langit dan bumi, jauh sekali.

“Eh iya, untuk kamu bilang, Sal. Ani, tolong hubungin bapak kontrakan lagi dong. Kan kamu biasanya penghuni teras itu untuk menikmati pagi, lalu membuat sajak-sajak untuk dia seorang.” Suara itu tampak tidak asing lagi ditelingaku, bahkan sudah muak mendengar suaranya, tapi untung merdu. Inginku melemparnya dengan pulpen bertinta cair yang sedang dipegang.

“Ya, nanti ku hubungin.” Jawabku pendek. Agar Meta dan obrolan ngawurnya tidak berimbas kepadaku, lalu seperti pagi-pagi sebelumnya jadi mainan godaan penghuni lain.

Selesai dengan obrolan random, tugas ceritaku juga selesai. Lalu, bersiap-siap untuk mandi dan ngampus.

Seperti dalam sebuah organisasi, kontrakan yang ku tinggalin ada susunan pengurusnya juga. Meta, yang barusan minta tolong kepadaku untuk menghubungi bapak kontrakan dalam rangka meminta lampu teras samping segera diperbaiki adalah sebagai ketua kontrakan. Salma sebagai sekretaris sekaligus bendahara, dan aku bersama Kak Wulan, Afif, masuk di bagian seksi memenuhi kebutuhan bersama. Yang bakal ngecek gas masih ada isinya apa sudah kosong, lampu mati, air mati, dan berhubungan dengan sesuatu yang jadi kebutuhan bersama, sedangkan Kak Raya, Fatiah dan Evi masuk di seksi kebersihan. Jika ada yang mengotori tanpa membersihkan kembali maka akan dikenai denda. Sedetail dan sedekat itu kami membina kehidupan berkontrakan. Udah kayak Kak Wulan sama kekasihnya aja, bedanya mereka berdua membina kehidupan berumah tangga, kami membina kehidupan masing-masing agar bisa menyenangkan satu sama lain.

Selama 7 hari dalam seminggu, ada satu hari yang menjadi hari paling nyebelin oleh sebagian besar penghuni bumi, yang lebih tepatnya berprofesi sebagai pekerja kantoran, karyawan, dan sebagainya, ia adalah hari senin. Terkait pendapat ini, boleh tidak sepakat juga. Betapa dalam kurung waktu yang lalu, tampak penghuni bumi mengeluh dengan hari tersebut, tidak lupa sedikit memaki-maki dengan guyonan, tapi lambat laun, ketidaksukaan terhadap hari senin mulai teratasi dengan adanya beberapa pekerja lepas di berbagai sosial media yang peduli dan memutuskan menyampaikan sudut pandnag yang lain terkait hari senin. Lambat laun, stigma buruk hari senin memudar walaupun tidak benar-benar hilang berganti jadi stigma baik. Aku menjadi salah satu penghuni bumi yang memiliki ketidaksyukuran terhadap hari senin, juga bersungut-sungut dengan hari tersebut. Maklum ketika semester satu dan dua seharusnya tidak ada kelas jam  7 pagi di hari senin, tetapi tiba-tiba jadi ada. Ialah jadwal pengganti dari mata kuliah; matematika dasar.

“Matematika itu gak bisa kalau dipelajari ketika siang-saing atau sore. Tidak efektif. Materi banyak yang tidak terserap oleh kalian.” Kata dosenku suatu hari kepada para mahasiswa baru yang penuh kepolosan yang sebenarnya bukan polos, lebih tepatnya lagi masa penyesuaian diri di dunia kampus.

Para mahasiswa baru yang juga termasuk aku, mengangguk mantap. Menyetujui. Dosen yang berdiri di depan seperti mendapatkan angin segar, dan pintu terbuka lebar untuknya mendapatkan persetujuan pergantian jadwal kelas.

“Kalau 1 sks diganti ke hari senin jam 7, apa tidak keberatan?” Matanya menyampu wajah-wajah mahasiswanya dari ujung ke ujung, depan ke belakang lalu ke tengah lagi, “Sedangkan, 2 sks lainnya tetap di jadwal semula.” Lanjutnya.

Para mahasiswa baru berdiskusi, tampak serius, beberapa ada yang mengangguk langsung, beberapa ada yang berdiskusi, beberapa ada yang masa bodoh, dan ada juga yang menggeleng. Aku sendiri ikut menangguk saja, lalu ikut berdiskusi juga. Menyedihkan tidak punya pendirian yang tegas. 
Masalah yang sama, bahkan sampai besok-besoknya. Ketidaktegasan menjadi sumber kegemesan sahabatnya, Meta dan Salma.

“Bisa ya hari senin pagi?” pertanyaan yang sepertinya lebih cenderung jadi pernyataan dan sedikit mengandung perintah itu disetujui oleh mahasiswa baru tanpa memprotes banyak, dan tanpa memaki hari senin. Setelah 2 semester berjalan, hari senin menjadi hari yang selalu diingat oleh kelas kami. Pagi-pagi, harus ke kampus, dan belajar matematika. Sudah seperti melanjutkan sekolah SMA jadi kelas 13. Hanya saja yang berbeda adalah tempat belajarnya, pakaiannya yang bukan lagi seragam, pengajarnya yang jauh lebih santai dan tidak menuntut banyak, dan teman-teman belajar satu sama lain yang berasal dari berbagai provinsi dan kota di Indonesia.

Begitulah hari-hariku menjalani masa perkuliahan selama 2 semester awal setiap hari senin. Pada semester selanjutnya, ku kira akan bebas dengan jadwal hari senin jam 7 pagi dalam 7 hari tersebut. Rupanya, aku harus menelan pahit keinginan bebas di hari senin pagi dan sekaligus mulai merubah stigma buruk hari senin menjadi stigma baik dan penuh kesadaran menjalaninya.

Semester 3, dalam 7 hari, ada satu hari di mana ada jadwal kuliah tambahan yang tidak masuk dalam kurikulum program studiku, dan hanya diisi oleh 5 mahasiswa, dengan seorang pengajar. Laki-laki berusia sekitar 45 tahun, berpostur badan tinggi, rambut yang agak pendek dan tidak semuanya hitam karena tampak beberapa ada yang telah memutih, dan aura yang terpancar dari air mukanya mampu membuat tenang orang-orang melihatnya. Laki-laki yang telah menghabiskan 6 tahun di German dalam rangka menyelesaikan S3-nya tersebut bisa di sapa dengan menyebutkan namanya saja. Pak Raden, begitulah para para pengajar dan mahasiswa memberi salam atau menyapa ketika bertemu.  

Guten Morgen. Wah, terimakasih sudah bersedia menunggu saya.Sapa Beliau pada kami yang sedang duduk di kursi, di depannya ada meja persegi empat panjang, lalu di atas meja ada LCD yang digunakan untuk media belajar atau sharing pagi kami di hari senin ketiga dalam sebulan awal semester ganjil.

“Morgen.” Jawab kami serentak.

Selama 1 jam ke depan di ruangan yang kira-kira seluas 3 x 4 meter ini akan dipenuhi oleh kata-kata berbahasa german, yang dibumbui oleh canda tawa karena kesulitan mengikuti atau mengucapkan kata-kata berbahasa german dari cerita yang telah dibuat. Ruangan ber-AC, di belakang kursi kami terdapat 2 lemari besar yang terisi oleh berbagai macam map dan berkas-berkas, entah masih dipakai atau tidak.

Bersambung…………………..

Sampai jumpa di Bab 3 ya. Kemungkinan akan rilis di minggu kedua bulan april. InsyaAllah.


Komentar