Pertama Kali Ngobrol (agak) Serius dengan Si Bungsu.



Hari yang masih pagi. Bola bumi di ufuk timur masih betah berada dibalik gunung tinggi sejauh mata memandang. Pagi-pagi di rumah, aktivitas cukup random, kalau lagi raji ya produktif dikit. Khusus pagi di hari ke tiga awal tahun 2020, memutuskan untuk tidak tidur lagi atau main hape sehabis subuh.
Obrolan ini dimulai setelah mengaji, Si Bungsu juga. Aku memanggilnya untuk ke kamar. Menyuruhnya duduk, dan meletakkan sebuah buku berisi catatan-catatan yang baru terisi beberapa hari lalu.
“Aku mau cerita. Dengerin ya. Tapi, sebelumnya, ada pertanyaan.” Jelasku.
Si Bungsu mengangguk. Menurut saja, “Apa?”
“Pernah dengar tentang resolusi?” Satu pertanyaan yang akan jadi pembuka obrolan pagi di hari itu.
“Ha? Apa itu?” Si Bungsu menggeleng, tidak tahu.
Tidak masalah, bahkan ia lebih beruntung. Aku tahu terkait resolusi atau semacam itu tahun 2014 akhir/awal 2015, waktu masa-masa sedang menempuh studi di Kota Bunga, dan Si Bungsu masih kelas 2 SMA. Seperti kaset yang diputarkan ulang, percakapan dengan Si Bungsu, adalah percakapan yang pernah ada saat aku mengobrol dengan salah satu kakak tingkat yang ditemui saat kuliah, perempuan, juga seorang penulis.

Aku memintanya untuk mencari di google, dan sudah pasti ia belum memahami apa maksud dari sebuah kata resolusi yang terbaca. Tidak apa-apa, kataku. Tinggal di lingkungan pendesaan yang tidak terbiasa dengan mimpi-mimpi dan capaian tertentu membuat kita tertinggal jauh. Walaupun teknologi sudah luar biasa gampang diakses dimana-mana tapi pengetahuan memanfaatkannya hanya sebatas itu saja, bermain sosial media. Tidak lebih dan tidak kurang.

Definisi resolusi kujelaskan pada Si Bungsu. Apa saja contohnya. Kenapa sih penting banget harus punya resolusi. Sebisa mungkin kugunakan bahasa yang mudah dipahami. Setelah menjelaskan definisi ini dan itunya, aku menunjukkan satu kertas berisi resolusi tahun sebelumnya. Aku menceritakan bagaimana semua yang dituliskan itu perlahan terwujud. Asal mau diusahakan, ada saja jalan Allah. Menceritakan beberapa yang sudah dicentang, juga disilang tapi tahun 2020 (tahun paling dekat) akan jadi tahun untuk mencapainya, atau alternatif lain yang dilakukan adalah merivisi poin resolusi menjadi lebih sederhana dan terjangkau.

Hal ini kulakukan pada point yang harusnya hafal juz 30, tapi diganti sekitar oktober, menjadi One Day One Juz, Al-waqiah setiap pagi, Al-mulk setiap malam dan Al-kahfi setiap jumat. Apakah aku berhasil melakukannya juga? Tidak. Hehehehe. Lebih rutin hanya Al-kahfi, mungkin. Selain itu loss begitu saja. Apakah aku terlalu santai? Ya tidak salah lagi. Apakah aku kecewa dan menyerah? Tidak. Masih bisa digeser ke 2020 atau ke 2021 dst, jugakan?.

Ekspresinya? Sungguh datar sekali. Tidak apa. Mungkin Si Bungsu sedikit bingung dengan apa yang disampaikan. Bersebab ini pertama kali ia dengar. Hingga ceritaku selesai terkait resolusi 2019, ia tetap aja menunjukkan wajah yang datar. Huhu. Aku seperti melihat diriku sendiri beberapa tahun kebelakang. Its so funny, krik krik pengen ketawa. Astaga.

Lewat cerita di pagi hari itu, aku sangat berharap di akhir ini ia akan bersedia membuat resolusi tahun 2020. Aku berharap ia bisa ikut serta merasakan indahnya hidup dengan mimpi-mimpi. Hidup dengan penuh harapan ini dan itu. Yang jika dewasa nanti, ia akan jauh lebih bijak menjalani hari-harinya. Lebih baik daripada kakak-kakaknya.

Selanjutnya, aku pindah halaman buku dan menceritakan sekaligus menunjukkan resolusi tahun 2020. Kujelaskan satu persatu sambil mengaitkan dengan pencapaian 2019. Kabar baiknya, Si Bungsu mulai merespon apa yang disampaikan. Bertanya maksud dari satu resolusiku.
“Keliling dua kota di Indonesia? Maksudnya gimana? Kerja gitu?” tanyanya.
“Betul. Tapi keliling kotanya ya nyicil. Tahun ini minimal dua kota dulu lah rencananya, Zul.” Jawabku sambil menunjukkan dua kota yang dituliskan.
“Oh, jadi tahun ini bakal ke Jakarta dan Bandung?” ia memperjelas, mencoba untuk mendapatkan validasi kebenaran atas kesimpulannya membaca tulisan kakaknya.
“Minimal, Zul. Kalau ada kesempatan kemana-mana ya gapapa. Bagus.”
“Oh. Aku juga mau lah bikin kayak gitu” Serunya, yang membuatku berseru yes dalam hati. Senang.
Selesai menceritakan resolusi, aku melemparkan pernyataan juga pertanyaan. Meminta ia untuk menuliskan resolusi dan menanyakan keinginannya tahun ini. Ia berpikir sejenak. Aku menatapnya dengan penuh harap, bahwa ia besok bisa jauh lebih baik dan beruntung dibanding para kakaknya.
Ia berseru ingin menambah hafalan lagi. Kutuliskan pada buku resolusiku di halaman setelah halaman resolusiku.
“Lalu?” Kutanyakan apalagi, sambil kembali memberikan gambaran dari resolusiku, yang misal punya target membaca 20 buku tahun ini, setelah tahun kemarin berhasil menamatkan baca 12 buku.
“Bagaimana kalau tambah dengan membaca buku?” Saranku.
“Buku? Buku apa yang harus dibaca?” Tanyanya balik.
“Buku bebas saja, asal ada 1 buku yang dibaca. Minimal.” Jelasku.
Ia tampak berpikir lagi dan akhirnya mengangguk. Tidak apa-apa, Zul, terlahir dan besar di lingkungan yang tidak membiasakan membaca buku sejak kecil bukan jadi alasan atau pembenaran untuk kita dewasa nanti tidak menyukai buku sama sekali. Aku, baru menyadari kalau senang baca buku ya pas masa-masa di rantauan. Dilembar putih yang tadinya kosong, kini sudah terisi tiga baris tulisan, antara lain yaitu 2 hal yang ingin diwujudkan. Selanjutnya, kuminta untuk memikirkan satu hal lagi, sekaligus menyarankanuntuk membuat resolusi tentang liburan. Ia langsung setuju. Seperti resolusiku yang akan mengelilingi 2 kota di indonesia, ia juga membuat resolusi mengelilingi 2 kota/kabupaten di Nusa Tenggara Barat

Cukup untuk jadi langkah awal untuknya mengenal tentang resolusi. Berharap, semoga ia bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari proses memuwujudkan resolusinya. Setidaknya, jika esok ia ke kota besar, tidak bakal merasa tertinggal jauh dari yang lain.

Meminta saling mendoakan. Aku berseru dengan percaya diri padanya. Ini adalah obrolan paling serius yang pernah dilakukan selama 23 tahun hidup dan ia 17 tahun. Senang dan bangga bisa berbicara santai tapi serius dengannya. Sadar diri bahwa sudah cukup koar-koar di sosial media tentang banyak hal, termasuk nilai-nilai dan hikmah hidup baik yang diperoleh dari perjalanan diri sendiri maupun orang lain. Sudah waktunya kembali ke keluarga sendiri, mengajak mereka untuk saling tahu apa keinginan masing-masing. Keinginan orang tua kepada anak, keinginan anak pada orang tua, keinginan adik pada kakak, atau sebaliknya keinginan kakak pada adik-adiknya. Mengajak mereka untuk sama-sama punya harapan sederhana tidak mengapa untuk masa depan. Membiarkan mereka untuk tahu rencana hidup 5 atau 10 tahun mendatang. Agar tidak ada lagi sikap saling berasumsi, saling menebak-nebak, saling salah paham, saling curiga, saling diam-diaman, dan saling yang tidak sehat lainnya. Sudah 2020, waktunya bebas, tidak hanya diri tapi juga jiwa yang bebas menentukan, memilih, dan menjalaninya dengan tenang.

Jika merasa dakwah atau apalah namanya, dirasa selama ini di luar lebih berat, percayalah, bahwa berseru dan mengajak pada keluarga sendiri itu jauh lebih berat. Kalimat yang bukan sekali-duakali ku temukan atau dengar jika sedang mengikuti sebuah acara bedah buku/diskusi.
“O Izul, O Nung. Belum ada yang mau keluar dari kamar? Astagaaaaaaaaa. Pagi-pagi sudah malas-malasan.” Obrolan selesai ketika satu panggilan menggelegar dari dapur terdengar hingga ke kamar. Aku yang masih pakai mukenah segera melepaskan, dan menyimpan sembarang di atas tempat tidur. Begitu juga Izul, Si Bungsu segera ku suruh keluar dan mendengarkan apa yang diperintahkan.
“Astagaaaaaaa, masih belum keluar juga?” panggilan kedua. Gawat. Aku dan Si Bungsu segera berlarian menuju dapur. Siap-siap atas segala konsekuensinya. Hiburan pagi, sebut saja itu adalah pangillan penuh cintanya beliau pada dua anaknya yang masih menjomblo.

Sekarang sudah bulan tiga, dan beberapa waktu telah berlalu, ketika aku sedang menelponnya, atau berbincang-bincang lewat sosial media, pembahasannya jauh lebih menyenangkan. Ia bertanya tentang bagaimana dengan kegiatanku, sebaliknya aku mengingatkan atau bertanya tentang hafalan quraannya.

Sekarang sudah bulan tiga, dan dua bulan telah berlalu terasa (bolehlah kubilang) cepat untuk sekian kali. Setelah semuanya dikomunikasikan, ku kira semua akan lancar dan baik-baik saja, nyatanya tidak. Menjaga resolusi-resolusi itu agar tetap dalam jangkauan dan bisa dicapai jauh lebih kompleks rasanya dibandingkan sebelumnya, yang hanya menyusun. Setelah semua dikomunikasikan, tanggungjawabnya tidak sesederhana sebelum dikomunikasikan, karena sebelumnya hanya diri kita sendiri yang tahu, sedangkan sekarang orang-orang juga telah mengetahui, keluarga. Membuktikan pada mereka, juga menggandeng tangan Si Bungsu untuk tetap ada dijalur mewujudkan resolusinya.

It sooooooooooo, semangat!!!!!
Tapi, ada rasa lega dan perasaan senang walaupun rasanya lebih kompleks juga tanggungjawabnya lebih bewwwrat.

Komentar