Ngoceh: Gadis Berjilbab Biru


Sedang duduk bersilang kaki di lantai tanpa alas seperti tikar atau bantal duduk. Mengenakkan baju favorit yang ketika berada di lapangan harus pakai rangkapan hitam berlengan panjang di dalamnya lalu di dobel dengan baju berwarna merah muda, dengan angka 17 tercetak sangat jelas dan sebuah singkatan nama yang entah darimana asal usulnya singkatan itu, karena jauh berbeda dengan nama lengkap yang sebenarnya.

“CN. Nama punggungnya pake itu aja, Men” seruku pada pada laki-laki yang dimana ketika berdiri di sampingnya, maka tinggiku hanya sekitar sebahu.

Terakhir, pas lari pagi di taman merjosari (sebelum ada himbauan untuk #dirumahaja dan #jagajarak) kebetulan ada seorang perempuan yang menawarkan kepada aku dan beberapa teman olahraga untuk mengecek kesehatan seperti BB, kolesterol, tinggi, gula juga kayaknya. Yang terukur adalah 156 cm.

“Beneran ini cuman dua huruf?” tanyanya meyakinkan.
“Beneran. Biar hemat sablon-annya.”
Sebuah tawa renyah darinya terdengar. Gigi rapinya terlihat, juga lesung pada pipi sebelah kanan membuat wajah itu semakin menyenangkan saja dilihat.

Baju ini menjadi kenang-kenangan yang banyak kenangannya. Jika sedang bercermin, seketika (walaupun hanya kadang-kadang) tampaklah seseorang sedang tersenyum, bisa jadi karena sebuah angka 17 dan nama fakultas yang menempel di baju bagian depan, beserta rentetan ingatannya pada beberapa momen yang dilewatkan dengan seragam baju berwarna merah muda yang sedang dikenakan.



Dipakai berjuang saat momen tiap Rektor Cup, tiap Olimpiade Brawijaya, Event Voli Se-Malang Raya di Sawojajar (dibawa sama Mas Ramadhan, Win, Rizky, Men, Gif, dkk, katanya sih buat latian dan nambah pengalaman main sebelum kembali berjuang di event kampus buat perjuangin voli fakultas. Eh, perjalanan ke sawojajar ini pake acara nyasar pula, sampai di jalan sulfat. Dan aku baru ngeh dengan jalan tersebut ketika 2019. Emang ya, setiap kejadian pasti ada pembelajarannya, nyasar sekalipun itu tetap membawa berkah. Karena hampir setiap ke tempat baru pake maps, selalu aja ada agenda nyasarnya dulu, yang besok-besok jalan yang pernah disasarin tersebut adalah jalan yang bakal dilewatin lagi. Apakah kalian juga mengalami hal yang serupa?.

Event Voli Se-Universitas Malang di Ma Chung (untuk pertama kalinya, entah sekaligus yang terakhir, gak tahu, di Ma Chung mainnya di dalam gedung. Indoor cuy. Aku dan bersama pemain lainnya udah norak banget pas pertama kali tiba di sana. Selain itu, tandingnya sama mahasiswa dari UIN, yang Allahu Akbar sekali, pukulan, servis, gerakan satu sama lain udah kayak cacing kepanasan, cepat, lincah, dan pinter banget ngarahin bolanya ke tempat yang jauh dari jangkauan pemain lawan). Main di Ma Chung ini bebas tanpa takut menggelapnya kulit karena terkena sinar matahari, dong. Ah, Ma Chung kaya bener. Ketika di kampung juga di pakai buat berjuang saat lomba RT. Duh, sebanyak itu momenku dengan sepotong kain yang jadi baju ini.

Singkat cerita, kebetulan olahraga voli ini termasuk salah satu olahraga yang ditekunin oleh orang-orang di kampung. Sejak sekolah dasar, sudah ikut serta ngeliatin orang-orang dewasa yang main di lapangan dekat rumah. Sekolah dasar masih ngeliatin aja, belum berani masuk buat ikut main. 

Ketika SMP, baru deh ikut nimbrung di dekat lapangan dengan teman-teman sepermainan. Tugas kami sederhana ialah mengejar dan mengambil bola yang tidak bisa ditahan atau diamankan oleh para pemain di dalam lapangan sehingga mengakibatkan bolanya terpental jauh keluar lapangan. Sebuah tugas sukarela. Lari kesana-kemari, kejar-ambil bola, dilemparkan ke para pemainnya. Keringat sudah bercucuran. Debu sudah melekat pada tangan dan kaki. Wajah yang memang gelap jadi bertambah.

Hingga tahun-tahun berikutnya, aku jadi tahu sebuah jawaban dari pertanyaan terkait perhobian ketika menulis biodata di buku diary teman (maklum zaman itu masih ada agenda beginian, saling isi biodata diri di buku binder teman).

Hingga tahun-tahun berikutnya ia menjadi salah satu caraku untuk tertawa dan melupakan sejenak beberapa kerepotan anak perempuan yang baru memasuki dunia orang dewasa yang katanya tidak menyenangkan itu (memang, tapi sedikit saja tidaknya).

Hingga tahun-tahun berikutnya, ia menjadi salah satu jalanku bertemu dengan orang-orang baru.

Bertemu, berteman, akrab, saling peduli, dari kakak tingkat yang sejurusan sampai yang enggak, teman-teman seangkatanku jadi bertambah, bukan hanya sejurusan, dan terakhir adik-adik tingkat hingga 3 tingkatan di bawahku.
Tim Voli Se-Kimia 

Tim Voli Kesekian
 
“Kif” sebuah nama yang selalu jadi pengiring setiap pertandinganku. Ialah seseorang yang gaya main dan kedisiplinannya jauh lebih baik daripada aku. Bertemu dengan sesama yang gila dan bisa rindu banget kalau lama gak mukul bola dan teriak-teriak di lapangan adalah sebuah kebahagian yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Cielah. Pokoknya melegakkan hati.

Partner Lapangan Banget, my Kiff.
Aku dengan Kif, tak terhitung berapa banyak kosa-kata yang telah terkumpul ketika bertemu baik via langsung maupun tidak langsung. Berikut ini adalah salah satu percakapan yang masih membuatku ikut merasa konyol. Tapi, senang.

“Eh, Cus. Ada yang nanyain kamu loh tadi.” Kif berseru ketika aku tiba di lapangan untuk latihan rutin tiap sore di hari kamis.
“Siapa?” Tanya balikku sambil mengganti sandal dengan sepatu.
“Cie ada yang nanyain nih. Kamu sih telat.”
“Hehe. Maaf.”
“Dasar. Cie, gadis berjilbab biru.” Kif berseru lagi yang membuatku sedikit kaget.
“Ha? Berjilbab merah kali.”
“Bukan. Biru.” Jawab Kif dengan wajah yang tak lepas dari senyum dan ekspresi menggodaku.

Usut punya usut, eh rupanya sebutan itu bersebab aku yang tiap tanding ketika dari MABA sampai beberapa pertandingan lainnya selalu menggunakan jilbab berwarna biru. Rupanya, yang menanyai itu tidak tahu namaku, tapi kami sering berada di tempat yang sama. Lapangan voli. Yang menanyai selalu bertugas jadi wasit atau yang bantu-bantu wasit. Pantas aja. Tenang, tidak ada yang spesial pake telor, setelah saling kenal, aku, kif, yang menanyai, dan teman-teman yang lainnya jadi tim solid selama ada latian dan pertandingan.

 
4 tahun perjalanan nge-voli. Pernah jadi sangat culun. Pernah salah pakai kostum (alias kostumnya norak banget. Maklum dulu gatahu gaya, gatahu perpaduan warna. Kalau diingat-ingat, malu sendiri. Aku doang yang pakainya norak karena sehabis praktikum di suruh segera ke lapangan).

Semua posisi dilahap dan dicoba. Maklum, kekurangan anggota jadi harus serba bisa dan mengisi yang kosong. Dari jadi pemain inti yang mainnya full set ketika tanding tingkat angkatan di jurusan dan fakultas. Dari jadi cadangan yang dimasukkan cuman pas set terakhir, sampai dimasukkan ke tim inti yang mainnya bisa ikut satu set penuh, sampai diamanahin buat jadi tosser dadakan yang kesemuanya ketika ditingkat fakultas dan event keluar, makan-makan di ocean garden sehabis tanding untuk terakhir kalinya (Mei 2018) karena setelah itu sudah harus sidang akhir skripsi.

“Wenak, Mas Ramadhan dan ajudan yang telah membersamai voli selama ini akhirnya merasakan timnya juara 1.” Gif, berseru.
“Iya, Rek. Kalian hebat. Kerenlah bisa ngalahin mereka. Selamat yo, kalian.” Mas Ramadhan, yang masih membersamai walaupun sudah lulus. Senyumnya merekah.
“Kami yang banyak makasih sama Mas. Udah lulus, masih aja ngurusin.” Win, pemain andalan di tim inti. Penyerang di garis depan bersama Sania. Pesonannya di lapangan voli tidak diragukan lagi, jauh lebih oke dimana-mana dibandingkan aku. Ya iyalah, secara ia juga masuk ke tim voli mewakili kampus jika ada tanding luar kota.

Seruan ucapan makasih dari satu sama lain dan dilanjut dengan lelucon-lelucon yang membuat suasana di meja panjang persegi empat di atasnya sudah dipenuhi oleh bakul berisi nasi, piring berisi tumisan kangkung, ikan-ikan bakar, ayam-ayam goreng, sambal bawang, sambal tomat, sambal terasi, dan penyetan tahu-tempe serta minuman-minuman, piring-piring kosong yang segera terisi oleh nasi dan lauk-pauk masing-masing anak.
 

Hari sudah semakin malam. Jalan telah sepi sejak bulan lalu. jari-jariku mulai melemas untuk menari di atas keyboard laptop. Kepalaku mulai sering diputar kekanan dan kekiri karena berusaha untuk menggali lagi kira-kira kata apa yang harus diketik. Hati sudah tenang.

Sekian…..

Makasih sudah mau membacanya sampai di kalimat terakhir J

Komentar