Menyukai Itu Sendiri Adalah Alasannya. #aletter

Sesekali mampirlah ke rumahku.
Tengok cerita-cerita yang ada.
Puisi-puisi tidak seromantis para sastrawan.
Maka, akan kamu temui sesuatu. Sesuatu yang membuatku sedikit malu. Malu untuk mengakuinya. Ssssttttt, tapi itu dulu. Sekarang, hhhhhmmmmmm, berbeda.

Kamu, selalu hidup dan ada pada tiap kalimat-kalimatku. Dalam cerita juga puisi-puisi.
Kamu, menginspirasiku dari tiap-tiap hal yang telah dilalui bersama. Bersama yang dalam artian bukan hanya berdua, tapi beramai dengan yang lain, tentunya ada aku juga kamu.
Seramai-ramainya orang berada di sekitarku, tetap saja pikiran, fokus, tanda-tanya dan lain hal tertuju pada dirimu. Seperti cahaya, kamu adalah sumbernya. Menarik perhatianku 10000x daripada yang lain.

Sesekali bertamulah.
Walaupun kamu tak meninggalkan jejak.
Sesekali berkabarlah.
Walaupun itu untuk semua orang yang berteman dengan kamu.
Sesekali saja, itu cukup untukku mengerti, bahwa keadaan-keadaan kamu baik-baik saja, ya meskipun itu masih sebatas di dunia maya.

Aku pernah, bahkan sering ingin melupakan, menjauh dari hal-hal berkaitan dengan dirimu.
Tapi, apa yang digariskan takdir, magnet dari antah-berantah sengaja betul memasang magnet pada diriku sehingga bisa ditarik mendekati kamu, tentunya bersama yang lain juga.

Awalnya memberontak. Berseru bahwa ini tidak bisa terjadi.
Hukum lupa-melupakan harus ku tegaskan pada diri sendiri.
Aku mencoba, tapi besoknya gagal.
Aku mencoba lagi, besoknya kalah oleh keadaan.
Aku terus mencoba. Mencoba lagi, dan lagi. Besok, lusa, dan lusanya tetap saja gagal.
Hingga lelah sendirian.
Hingga memutuskan untuk mengalah. Biarlah, biar kutahu kabarmu, biar kutahu kesibukanmu, biar saja magnet itu menariku masuk ke dalam duniamu. Biarlah.

Aku berharap, suatu hari nanti hatiku bisa berdamai dengan sendirinya.
Aku berharap, keputusanku tepat adanya.
Garis takdir, aku tidak akan berusaha melawannya. Tidak akan.
Karena setelah kutimbang-timbang. Kupikir-pikir, terkait perasaan menyukai, bukankah memiliki masanya sendiri, layaknya perasaan marah, sedih, bahagia. Hanya saja, porsi perasaan menyukai ini kasusnya berbeda, karena belum tersampaikan pada yang disukai sehingga masih belum beres urusannya.

Ah sial.
Aku baru saja mengakui. Semuanya!.
Sudah kubilang di awal tadi, sekarang memang berbeda. Aku, sudah cukup umur untuk bisa mengakui dan menerima garis takdir yang telah dituliskan.

"Kenapa kamu bisa menyukainya?" begitu pertanyaan salah satu sohibku.

"Karena aku menyukainya. Tidak ada alasan lain kecuali, ya karena aku menyukainya." jawabku dengan mengukirkan senyum pasta gigi.

"Ha? Masa itu doang? Kamu suka apa ke dia? Dia kaya, suka tidur di malam hari dan siang hari, karena suka makan nasi goreng, suka mendaki gunung, atau apa gitu. Itu alasan!." jelasnya panjang lebar sambil menggemaskan diriku.

"Ini jawaban bodoh mungkin buat kamu. Tapi, aku meyakini bahwa cukup satu alasan, karena kamu menyukainya. Jika banyak alasan, mungkin kita perlu mempertanyakan perasaan kita. Begitu kira-kira. Paham gak, Sohib?"

"Kayaknya paham, cuman nalarku gak bisa menerimanya."

"Besok-besok mungkin. Ketika kamu mengalaminya sendiri. Udah ah, aku mau cabut dulu. Dahhhhh"

Bahkan, dalam obrolanku, kamu terkadang ada dan dibawa-bawa.

Selesai.

Malang, 10 Juni 2020.

Komentar