Surabaya dan Kenangan. #aletter

Awal-awal tahun ini, kunjungan ke surabaya jauh lebih sering dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebuah kota yang ramai sekali.

Kebiasaan. Membebaskan mata untuk melihat tiap sudut dan bagian dari kota pahlawan tersebut. Menikmati gedung-gedung tinggi, berjejer satu sama lain. Seakan bersaingan untuk menjadi yang tertinggi. Jauh di dalam hati merasa ngeri melihat itu semua. Memikirkan hal buruk.

Kebiasaan. Curi-curi kesempatan untuk merentangkan kedua tangan. Biar sudah angin sepoi yang berhawa panas itu menari di antara jari-jari tak mungilku. Biar sudah angin sepoi yang tak menyejukkan itu bermain-main dengan ujung lengan baju dan hijabku.

Kebiasaan. Mengajak ngobrol sesekali yang sedang mengendarai motor. Jika ia telah lama di kota tersebut maka akan banyak hal yang kutanyain. Itu gedung apa? Ini jalan apa? Perempatan? Perlimaan? Lapangan yang ramai itu? Kampusnya di mana? Pusat perbelanjaan atau tempat biasanya untuk berbelanja? Dan lain sebagainya. Aku, selalu ingin menghidupkan perjalanan singkat tersebut. Mengobrol di atas motor adalah sebuah hal menarik dan menyenangkan. Ya, selalu menyenangkan.

Ngomong-ngomong terkait kota pahlawan, semenjak nongol di malang 6 tahun lalu, surabaya adalah #listtown yang bakal dikunjungin sebelum balik ke kampung atau keluar dari jawa timur.

Kukira, 2018 silam merupakan kali pertamanya nginjakin kaki, ngehirup udara, dan sebagainya di kota tersebut. Ternyata keliru. Aku melupakan satu hal, yaitu secuil kenangan di masa-masa saat senang sekali rambut dikepang dua, pipi yang udah kayak donat (ngembang, empuk), dan tergila-gila sama boneka barbie yang bisa nyanyi lagu india "caiya-caiya" juga beberapa tahun kemudian viral di indonesia.

18 tahun yang lalu, waktu yang tidak sebentar; tata letak perabotan di dalam ruangan perawatan, teman sekamarnya yang sama-sama berjuang untuk melewati berbagai tahapan pengobatan, lorong rumah sakit (jadi lorong pengobatan) yang dipenuhi oleh pasien dengan riwayat sakit gula dan sebagainya (harus dilewatin setiap keluar masuk dari ruangan perawatannya), jalan raya menuju pasar, suasana pasar yang ramai seperti biasa, pohon ceri versi indonesia buahnya jadi favorit untuk dipetik saat dilewati menuju pasar, tidur, makan, main di sebelah ranjangnya, juga rambut-rambutnya yang kian hari kian rontok sampai kulit kepala tak mampu lagi tertutupi oleh rambut yang tersisa.

Ialah kota terjauh yang pernah dikunjungi (waktu itu), juga besoknya jadi kota yang ingin kukunjungi lagi, kota yang jadi tempat terakhir melihatnya untuk terakhir kali dikelilingi oleh selang pada tubuh mungil.

Mama.....
Aku tidak pernah mengira, bahwa anak ingusan kemarin ini, yang pulang TK nangis karena gak dijemput sudah keliling kota surabaya. Kota yang jadi rujukan pengobatan karena alat-alat dan semua kebutuhan yang diperlukan ada.

Kukira semua akan membaik dan sembuh seperti sedia kala. Rupanya tidak begitu takdir berjalan. Berbelok, dan meninggalkan kota pahlawan dengan perasaan pasrah, merawat dengan sisa waktu yang ada di rumah. Di rumah saja.

Hingga waktu berbaik hati membungkus pergi semuanya. Juga, berbaik hati membiarkan yang lain tumbuh bersama luka-luka tak tampak. Juga, sangat bermurah hati menemani satu per satu luka itu kering dan sembuh...

Waktu, memang pedang bermata dua.

Malang, 17 Juni 2020.

Komentar