3 Fase Yang Pernah 'Kita' Lewati. #aletter

Hidup ini, kurang lebih tiap kita akan melewati 3 fase. Fase tidak tahu apa, fase tahu apa-apa, dan fase penentuan. Sebelumnya, fase-fase itu dinamai sendiri berdasarkan dengan apa yang pernah dilewati.

Memakai topeng. Mungkin, secara sadar ataupun tidak, hidup kita sehari-hari adalah bertopeng. Dulu, mana ngerti bahwa peran hidup yang sedang dijalani tersebut penuh dengan topeng. Karena keseringan memakai topeng, lama kelamaan sampai lupa membedakan mana diri yang benar-benar nyata dan yang pura-pura.

Fase pertama, tidak tahu apa-apa. Fase bertopengku di mulai. Bisa dari tontonan, gerak-gerik orang lain, dan cerita orang. Aku dengan baik hati menerima semua itu, lalu kupakaikan pada diri sendiri. Semuanya tanpa difilter. Hingga, BOOM. Aku tidak mengenali bagaimana rupa diri sendiri. Emosiku hanya satu, yaitu bahagia. Tidak ada bentuk emosi sedih, kecewa, kesal, marah, mengumpat, tidak ada. Sesial dan selambat itu. Tersematlah, kata baik, sabar, kalem, pada diriku dari orang-orang yang pernah berinteraksi. Jauh, di dalam hati, bertanya-tanya, beneran sebaik itu? Sesabar itu? Senaif itu?. Tapi, belum kutemui jawaban-jawaban atas pertanyaan itu.

BOOM. LAGI. Rupanya, apa yang kulihat, kulakukan, dulu, dan, sekarang, yang kudengar benar-benar bertolak belakang. Ringkasnya, selama ini aku telah begitu jahat sekali dengan diri sendiri. Menikamnya dengan halus dan pelan sekali.

Aku ada di fase kedua, tahu apa-apa. Aku mulai akrab dengan segala informasi yang ada. Mulai perlahan menyembuhkan diri sendiri dengan berbagai macam cara yang tentunya kudengar dan kubaca. Sekarang lebih sedikit berkembang, bukan hanya tontonan jadi media belajar dan menyontohku, tapi sudah lewat bacaan-bacaan yang ada. Fase mencari. Mencari lagi. Lagi-lagi mencari. Lebih banyak diam, mengamati, dan terkadang sok iye banget berasa sudah menemukan dan terbebas dari kegalauan sebelumnya. Padahal, itu semua hanya awal. Aku kembali terduduk lagi. Ingat bahwa baru belajar, biasanya orang akan merasa agak sombong. Haha. Aku merasa bahwa sedang berdiri di posisi itu. Naif sekali. Jijik rasanya. Pergulatan hati dan pikiran sudah seperti perang badar. Juga macam petang uhud.

Manusia.
Hingga fase ketiga. Penentuan. Menerimanya atau menolak. Dan, keduanya kulakukan. Memberontak dulu, ingin menolak, tapi merasa bahwa menerima semuanya lebih baik.

Merasa bahwa tidak sepenuhnya keliru memakai topeng dalam kehidupan ini. Karena, topeng-topeng yang dipakai ada kalanya sangat berguna. Tepat, di waktu yang diperlukan. Tidak masalah. Sungguh. Yang terpenting, kita sendiri sadar dengan topeng yang sedang dipakai tersebut. Tidak menipu diri sendiri, atau menipu orang lain yang dalam tanda kutip "melakukan semuanya dengan penuh kesadaran diri atas konsekuensi yang ada".

Tidak memakai topeng juga tidak masalah. Hem, tidak ada yang lebih baik. Semuanya baik, pada waktu-waktu tersendiri.

Dalam hidup ini, ada beberapa hal yang jika kita tidak memakai topeng maka akan semakin kacau. Dan, kekacauan itu bisa teratasi dengan kita bertopeng beberapa saat. Tapi, yang harus digaris bawahi, bahwa yang kita lakukan itu adalah sepenuhnya sadar.

Ada perasaan lega.
Ada perasaan senang.
Ada perasaan semacam itu.
Perasaan yang sebelumnya adalah sesak karena kita melakukan tanpa memahami apa yang sedang dilakukan.
Perasaan yang sebelumnya adalah tidak terima karena kita merasa menipu diri sendiri demi orang lain.

Lucu ya.
Tapi, lewat kelucuan itu kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya adalah pendewasaan diri. Ya, walaupun tidak sematang yang lain, kupercayai bahwa itu semua perjalanan mendewasakan diri. Sadar ataupun tidak, walaupun sedikit, semakin hari, kita semakin menuju dewasa itu. Kita berubah. Menyederhanakan banyak hal. Realistis melihat ini dan itu.

Itulah fase terakhir. Fase ketika kita sudah tak sedih berlarut-larut. Fase dimana kita bisa berseru bijak dengan apa yang sedang dialami dan jadi pembelajaran buat yang lain. Fase kita menepuk-nepuk pundak sendiri dan menghiburnya.

Perjalanan ini belum selesai. Pergulatan yang lain akan segera bertamu. Kita hanya perlu bersiap menyambutnya. Sampai menutup usia, pergulatan itu akan ada, silih berganti. Kita hanya perlu bertahan. Bertahan, dan sabar ya. Selain sebagai manusia, kita juga adalah seorang muslim. Bagaimanapun pergulatan yang kita rasakan, kita diminta untuk sabar. Sebelum sabar, sholat dulu, lalu lanjut sabar lagi. Klise memang, tapi, kodrat kita memang begitu.

Semangat. Kita muslim yang kuat dan lembut, bukankah Allah menyukai muslim yang kuat?

Maaf jadi bawa kata 'kita'. Hehe.

Komentar