CerBung Eps. 1: Tembok Pembatas

Mendaki gunung adalah kebiasaan Rio tiap hari minggu pagi. Jika sedang bosan-bosannya, maka di hari biasa, suasai pulang sekolah, ia akan tetap mendaki.

"Ada ketenangan yang terasa ketika berada di antara pohon-pohon liar itu." jawabnya suatu hari ketika ku lempar dengan pertanyaan 'kenapa punya hobi mendaki?'
"Sama seperti yang kamu rasakan ketika berdiri di pinggir pantai, menatap laut lepas sejauh mata memandang. Ketenangankan yang kamu rasakan? Seperti itulah." Rio berbaik hati menambahkan penjelasan.

Umur belasan tahun. Duduk di sekolah menengah atas yang sebentar lagi akan lulus. Dari dulu awal-awal akrab hingga saat ini, kebiasaannya tiap pagi di hari libur sekolah adalah mendaki gunung, tidak pernah berubah. Sesekali, kami juga bermain di pinggir pantai. Beruntung, tempat kami tinggal, gunung, pantai terjangkau sekali.

Aku tidak paham bagaimana garis takdir ini berpihak sampai umur kami yang keberapa. Puluhan?. Sejujurnya, aku dengan Rio tidak memiliki banyak kesamaan, bahkan lebih banyak perbedaan. Seperti yang sedang dicakapkan di atas, jelas-jelas Rio sangat menyukai segala macam hal terkait gunung, dan untuk urusan diajak ke pantai atau laut susah banget. Banyak alasan yang akan didengar. Ribet. Aku biasanya, suka se-enak diri, langsung ke rumahnya, menjemput untuk menemani main ke pantai.

Rasanya egois sekali, ketika tidak ada satu alasanpun darinya yang bisa menghentikan ingin main di pinggir pantai. Walaupun begitu, tidak pernah terdengar kalimat protes dalam tanda kutip serius dan marah-marah. Tidak. Ia hanya mengeluh. Bersungut-sungut.

Aku suka yang berbau air, seperti laut atau pantai. Dan, ia tahu betul hal tersebut.

Tapi, seberapa banyaknya perbedaan pada diri aku dan Rio, ada satu titik yang seperti magnet, menjadikan, apa-apa tampak bersama, akur, dan menikmati hari-hari yang dilewati.

Peduli.

Rio peduli dengan hal-hal terkait diriku. Walaupun ia mengeluh diajak ke pantai, tapi laki-laki bermata agak sipit itu tetap menemani dan menikmati sebisa mungkin yang ada di hadapannya. Termasuk air yang agak asin, pasir yang tidak putih, juga sampah di bibir pantai ala kadar tersebut. Karena mungkin ditengah kota ya, jadi mudah terjangkau, selalu ramai, tidak terurus. Ia peduli. Peduli akan dosis perasaan dan kebahagiaanku.

Sebaliknya, aku terhadap Rio. Menemaninya mendaki gunung jika mood membaik. Atau, jika sedang tidak ingin ikut mendaki, aku akan berdiri memandang punggungnya yang berjalan menuju gunung kecil di desa kami. Berseru hati-hati, melambaikkan tangan, dan meminta dibawakan dirinya sendiri dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun itu sudah cukup.

Orang-orang menyebutkan saling mendukung. Dan, tekadku untuk membersamainya kian hari kian matang. Begitu juga dengan perasaan lain yang tumbuh subur, kian hari kian besar harapanku. Yang boleh jadi itu adalah sebuah harapan yang tidak pernah jadi.

Karena, sudah kukatakan sebelumnya bahwa, kami selalu memiliki dua hal yang bertolak belakang. Termasuk yang satu ini, yang tidak bisa berubah (mungkin walaupun tetap saja bisa berubah), sebuah keyakinan yang menjadi tembok pembatas diantara kami...

Kami Berdebat lagi, walaupun tidak begitu serius.

Bersambung...

Komentar