Tumbuh Itu Sendiri adalah Luka. #aletter

Tiap kita tumbuh dengan luka-luka tak kasat mata. Sembuh satu, luka lagi di tempat lain. Jika lamat-lamat diperhatikan, memang benar, tumbuh itu sendiri adalah luka.

Kita bisa senyum ketika satu luka telah sembuh.
Kita bisa khawatir ketika satu luka belum sembuh total tapi ada kemungkinan akan kembali terluka lagi.
Kita bisa menangis tanpa bersuara ketika luka yang didapatkan begitu perih dan mengguncang palung hati, terdalam.
Kita bisa tertawa ketika luka yang ada tak kunjung sembuh. Menertawakan luka itu sendiri.

Hari-hari berganti.
Detik terus saja bertambah-tambah dari waktu ke waktu.
Memberi ruang menit untuk berpindah dari posisi menit ke-4 menjadi menit ke-5.
Terus saja mutar, mutar lagi, lagi, lagi mutar, hingga bola raksasa bumi rela meninggalkan langit dan awan luas serta seluruh penduduk bumi.
Membiarkan bintang-bintang berkerlap-kerlip menghibur para mata yang sedang tidak punya pekerjaan.
Tidak punya pekerjaan?
Jika ada pekerjaan, tidak ada kesempatan melihat bintang. Betul, bukan?

Ah, terkait punya atau tidak punya pekerjaan saja bisa jadi sumber masalah.
Yang nantinya, berujung dengan luka.
Lagi-lagi, luka itu akan bertamu pada tiap kita.
Walaupun pergi ke ujung dunia sekalipun, luka ---dalam bentuk apapun, akan jadi teman bertumbuh.

Cukup.
Hanya buang-buang energi saja jika masih saja menyangkal terhadap luka-luka yang ada.

Cukup.
Hanya sementara, ya, luka itu senasib dengan sembuh, bahagia, menangis, takut, cemas, sepi, khawatir, tertawa, semuanya adalah bersanak saudara. Sanak-Saudara Rasa.

Luka itu akan berubah.
Bermetamorfosis menjadi sahabat paling setia. Yang menjadikan tiap orang yang terluka kembali kuat. Kembali menatap prihatin pada diri kita di masa lalu.

"Ah, aku secengeng itu ya?" mungkin jadi salah satu komentar yang akan ditemui.

Mungkin...

Komentar