“Hasna, lagi apa?
boleh aku telpon?.”
Setelah muncul pemberitahuan bahwa pesan tersebut telah
terkirim, kuletakkan kembali HP pada posisi semula. Di atas meja, sampingnya
laptop. 5 menit kemudian, aku kembali cek pesan masuk. Nihil. Belum ada pesan.
“Hufftttt.” Helaan nafasku terdengar begitu berat.
Aku kembali fokus dengan pekerjaan yang sedang dikerjakan, merekap
biodata para kontributor untuk project buku antologi. Agar suasana sedikit
lebih ramai, aku memutuskan untuk mendengar tausyiah pagi-pagi oleh Pak Cahyadi
Takariawan di youtube. Bekerja secara multitasking seperti ini dilakukan agar
rasa kantuk dan bosan tidak menghinggap. Beberapa menit kemudian, terdengar
nada dering HP pertanda adanya sebuah pesan yang masuk. Aku yang menunggu
balasanya sedari tadi segera mengambil HP dan kunci layar segera dibuka.
“Maaf baru balas. Aku
habis nyuci. Silahkan menelpon.” Emot senyum menyertai kalimat balasannya. Yang
juga menerbitkan senyum pada wajah tak mungilku.
Aku segera menelponnya. Walaupun gak tahu mau bahas apa
saja. Terdengar suara bahwa panggilan tersebut telah terhubung dengan kontak
tujuan dan tinggal menunggu diterima.
“Hai, Kau!.
Assalamualaikum.” Aura-aura kehebohannya segera menyeruak memenuhi gendang
telingaku melalui telpon genggam.
Yang segera kujawab dengan salam juga, “Waalaikumsalam. Halo, Na. Eh, kau tak
sibukkan?” Tanyaku untuk kedua kalinya.
Perempuan tidak pernah cukup bertanya hanya satu kali, tapi
lebih. Karena mereka selalu membutuhkan kepastian-kepastian. Ia akan selalu
mempertanyakan berulang kali apakah ini sudah siap? Apakah jadi keluar? Apakah
kau mencintaiku? Apakah aku akan menjadi pilihan terakhir? Apakah kamu sibuk
hari ini? Apakah aku mengganggu? Apakah aku gemuk? Apakah aku kusam?. Tidak
jarang, pertanyaan-pertanyaan itu akan kamu dengar lebih dari sekali dalam
sehari. Sabar, sabar lah dalam menjawab pertanyaannya. Berikan jawaban terbaik,
yang menenangkan, juga yang bisa ia merasa yakin-seyakinnya.
“Udah gak. Maaf ya,
agak lama menerima telpon kau tadi. Aku habis jemur. Biasa, pekerjaan tiada
berakhir para kaum perempuan.” Diujung kalimatnya diikuti tawa, yang
membuatku tertawa juga akan kenyataan yang ada.
Merasa terheran-heran sama pekerjaan satu ini. Selalu
menjadi list utama dalam agenda liburku. Satu selesai dengan baju-bajuan, eh
ada tas-tas yang udah berbulan-bulan tidak menyentuh air. Seusai tas, rebahan
bentar, menyadari satu hal lain lagi bahwa sprei dan sarung-sarungan batal
sudah seharusnya diganti karena aromanya tidak karu-karuan. Aku menyeka dahi
yang tak berpeluh, untuk menyabarkan diri sendiri bahwa tidak ada waktu berleha
lama-lama dan menikmati hari libur tanpa cuci-mencuci.
“Aku baru beres melipat dan memasukkan pakaian-pakaian yang
kemarin dicuci, trus pagi tadi sudah masuk satu ember lagi. Astaga, apa yang
harus dilakukan ini biar sehari saja sabtu atau minggu tidak ada list cucian.”
Tawaku masih berlanjut.
“Hahaha…” Tawa kau dari ribuan kilometer,
tapi karena berkat alat teknologi, semua menjadi dekat. Aku mendengarnya.
“Apanya yang lucu?” Sebenarnya yang lucu adalah aku. Haha. Yang tentunya
tpertanyaan itu tidak terjawab. Sebaliknya, mendapatkan pertanyaan balik.
“Zah, aku belum lama ini habis baca buku.
Dan, menemukan sesuatu. Mau tahu?” tanya dijawab tanya.
“Apa?” Ucapku, antusias.
“Jadi, kita kan sering banget ya
mengeluhkan bersih-bersih. Ya, kau sih yang lebih sering mengumpat dan
mengeluh….”
“Gak usah memfitnah orang deh.” Seruku
sok tidak menerima, padahal benar adanya.
“Nyata, mah itu. HAHHAHA.” Serunya.
“Gak.”
“Gak salah lagi. HAHAHAHA.”
“HAHAHAHAHA. Yaudah ya ya. Kau gak pernah salah memang.” Dari dulu, sejak
bertemu dengannya di bangku sekolah menengah atas, dan kebetulan berkuliah di
kota yang sama, menjadikan kami lebih intens untuk saling bertemu, bercanda,
dan bertengkar, walaupun hanya tipis-tipis.
“Oke, oke. Jadi
kembali ke topik sebelumnya ya.” Akhirnya ia menyadari juga bahwa akan
memberitahuku satu hal… “Ini aku baru semingguan
terkahir ini menerapkan apa yang dituliskan dalam buku itu. Jadi, pas kamu
pulang kerja antara hari senin-jumat, jangan langsung beristrahat. Tahan-tahan
dulu.”
“Waduh, kan sehabis bekerja
setengah harian lelah, lesu, letih, Na.”
“Ya, aku juga tahu. Oleh karena itu,
dibutuhkan kesabaran nih buat mengerjakkannya. Kau kan pulang kerja biasanya
sehabis mengganti pakaian pasti langsung tidur-tiduran, kan? Sambil main HP?
Nonton.”
“Kok tahu?” tanyaku polos.
“Kau cerita, kali.” Dan aku baru
sadar bahwa gak pernah gak cerita kepada Hasna.
“Ha, iya. Ingat. Kau kan memang….”
“Tempat Kau berkeluh kesah mengumpat dan
sebagainya. Udah kayak tempat pembuangan cerita.”
Tawaku pecah seusai kalimatnya di seberang sana. Mungkin,
inilah yang jadi alasan, kenapa ngotot banget pengen menelponnya. Bahwa, aku
ingin tertawa ditengah tumpukan PR yang tidak selesai-selesai.
“Waktu yang kamu pakai buat istrahat,
sejenak dialokasikan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sebentar saja. Biar,
hari sabtu atau minggu Kau tidak perlu menyuci. Aku, udah pratekkin. Dan, hari
liburku sangat produktif sekali untuk olahraga dan menghabiskan buku-buku yang
perlu dibaca.”
“Kok berat kali, ya rasanya, Na.”
“Ih. Mana ada langkah awal yang ringan,
Zah.” Perbincangan bijak masih berlanjut.
“HAHAHAHAH. Kalau langkah awal adalah ringan, maka gak ada tantangan ya hidup
kita.” Dan aku mengikuti alur perbincangan bijaknya.
“Kalau gak ada tantangan, hidup kita
bakal hambar banget.”
“Hambar yang tidak dirindukan.”
“Itu judul film kali, Zah.”
“Syurga yang tidak dirindukan, Na, judul filmnya. Tolongggggg!!”
“HAAHAHAHHAHAHa. Iya, maksudnya itu.”
“Ngasal dari dulu kagak hilang-hilang. Heran.”
Ngomong-ngomong terkait ngasal-mengasal, dan tidak mencari
tahu sampai detail adalah kebiasaanya, Hasna. Dan, obrolan ditelpon pagi ini, mengingatkan
akan suatu kejadian ketika waktu ke bengkel.
Hari itu, rencananya kami akan mengganti oli motor.
Kebetulan, sudah lama juga tidak membawa Si Bebeb masuk salon. Si Bebeb ini
nama motornya Hasna. Sejak sekolah, selain kebiasaan ngasal, perempuan bergigi
kelinci ini selalu memberikan nama-nama kepada barang miliknya. Biar terasa lebih akrab, Zah. Begitu
ucapnya suatu hari. Yang hanya kujawab dengan wajah polos pura-pura mengerti. Berangkatlah
kami ke salah satu bengkel yang satu-satunya menerima servis motor dengan
diskon 10% untuk pemilik motor berstatus mahasiswa.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” Setibanya kami segera
disambut oleh pegawainya.
“Oh ini, Mas. Saya mau servis motor.”
“Iya, Mbak. Silahkan registrasi dulu ke dalam kantor ya.”
“Oh baik, Mas.”
Aku mengekor dibelakangnya. Menuju meja registrasi. Tampak
terjadi transaksi. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
perempuan berseragam yang duduk dibalik meja kerjanya. Terlihat kesibukan
catat-mencatat, dan tanya jawab menanyakan nama Hasna dan nomor teleponnya,
juga keluhan pada kendaraan bermotornya. Setelah selesai mengurus pendaftaran,
kami dipersilahkan untuk menunggu. Untuk pelayanan, bengkel yang jadi pilihan Hasna
ini memang beda. Selain para karywan yang ramah, ruang tunggu yang disediakan
sangat nyaman, dan adanya wifi yang bisa diakskes.
Ruang tunggu dan tempat motor-motor di servis hanya dibatasi
oleh kaca , sehingga keseluruhan kesibukkan satu sama lain dapat dilihat. Dari luar tampak seorang karyawan berseragam
menuju ruang tunggu. Ditangannya sudah memegang salah satu berkas biodata
pelanggan.
“Mbak Hasna…” Rupanya ia yang bertanggung jawab akan
motornya Hasna. Yang namanya disebut segera berdiri. Aku mengekor.
“Ya, Mas. Saya sendiri.” Kini kami sudah berdiri di samping motor.
“Ini motornya sudah selesai, Mbak. Tadi kami hanya membersihkan bagian-bagian
dalam sekitar mesinnya. Untuk busi masih aman, dan lain-lainnya masih oke,
Mbak.” Kami khidmat mendengarkan penjelasan karyawan berlesung pipi tersebut.
“Alhamdulillah. Sudah sekalian ganti oli dan air radiator juga berarti ya?”
“Yang itu belum, Mbak. Jadi, sekalian ganti oli?”
“Iya, Mas. Sama air radiator ya.” Kalimat Hasna yang bukan disambut dengan
jawaban oke atau iya, tapi guyonan yang terbit dari karyawan berlesung pipi di
hadapan kami. Yang, juga membuat wajah kami ikutan nyengir sekaligus bingung.
Apa ada yang salah?
“Eh, kenapa ketawa, Mas?”
“Kalau motor Mbak ini tidak pakai air radiator. Jadi, ga perlu ganti air
radiator.”
“Oh begitu, Mas? Wah, saya gak tahu, hanya sebatas baca saja kemarin. Heheehe…”
“Iya, Mbak. Kalau motor ini pakainya radiator yang memanfaatkan sirkulasi
udara…” Tangan yang sudah sepenuhnya menghitam karena terlumuri oli-oli dan
sebagainya gesit menunjukkan radiator udara yang dimaksud.
Kami mengangguk mengerti dengan wajah bego, sekaligus
sedikit malu. Aku tidak henti-hentinya menyengir.
“Mungkin maksudnya oli garda ya Mbak?”
“Oh iya betul. Oli garda maksudnya.”
“Hehe, iya mbak. Bukan air radiator ya.”
“Bukan, Mas. Hahaha.”
“Bisa ditunggu sebentar lagi ya, Mbak” Dan, kami mengangguk. Menunggu sebentar,
lagi.
Tawaku sedikit sulit untuk dihentikan setelah kembali
teringat akan kejadian itu. sebenarnya biasa saja, sih ya, Cuma gak tahu kenapa, rasanya lucu. Bagaimana Hasna dengan
wajah yakinnya menyerukan ganti air radiator, tapi disambut dengan
senyum-senyum lucu dari teknisinya.
“Nyebut, Zah. Nyebut.”
Seru Hasna mengingatkan agar berhenti tertawa.
“Iya, iya. Aku inget kejadian kita yang pas ke bengkel itu lho.”
Hasna ikut tertawa, “malu-maluin. Haha”
“Eh, udah ya. Aku sudah membaik nih moodnya. Kembali bisa bekerja. Dah.”
“Hah. Dasar. Aku ditelpon Cuma buat
ngembaliin mood kau saja. Ya. Mandi sana.”
“Tahu aja kalau belum mandi.”
“Kebiasaan. Malas kok jadi rutinitas. Hhohoohohoh”
“Kumatikan, dah. Assalamualiakum”
“Waalaikumsalam…”
Jauhnya jarak bukan berarti menjauhkan kehangatan akan kebersamaan yang telah lewat. Satu dua waktu, berseru dan temu sapalah dengan orang-orang yang kamu merasa, jika bertemu mereka bisa membahagiakan, melegakan, menghibur dan juga mengusir sepinya hati.
Komentar
Posting Komentar