Satu minggu telah berlalu, dan aku masih belum bisa merasakan
tubuh berkeringat meskipun sudah kerja; bersih-bersih, masak-masak, juga
jalan-jalan. Yang terasa, hanya dingin. Kukira, hanya sendirian merasakan hal
serupa, nyatanya enggak. Sepupuku, juga tinggal sementara waktu di kontrakan
Kak Inang, merasakan hal sama. Oh, kalau di rumah sendiri, jam 7 pagi terik
mataharinya udah gak santai. Tapi, di kota ini, terik matahari jam 11 siang
masih terasa lembut menyentuh pori-pori kulit. Satu minggu telah berlalu, dan
keesokan harinya, aku akan memulai les di salah satu bimbingan belajar di kota
dingin ini.
Hari perdana aktif belajar. Aku berangkat dengan sepupu
menggunakkan angkotan umum. Bermodalkan arahan dari Kak Inang, dua kurcaci, aku
dan sepupu, Tika, menyelusuri jalan yang kadang mulus dan luas, kadang juga
sempit dan berlubang. Hari perdana yang tidak pernah terekspetasikan akan
bagaimana-bagaimana kecuali nanti ya ketemu sama rumus-rumus lagi. Belajar
lagi. Latihan lagi. Perkenalan lagi. Hari perdana belajar, juga untuk kali
pertama bertemu dengannya. Seseorang yang tiba-tiba mendekat kepada kami saat
mengobrol. Seseorang yang tanpa malu-malu langsung bersay hallo saat tahu kami juga berasal dari daerah yang sama dan
ia bisa tahu karena mencuri dengar obrolan kami yang intens dengan Bahasa daerah.
Seseorang yang sejak pertama bertemu sudah sok
kenal sok dekat. Seseorang yang semakin
hari mengenalnya semakin terlihat kelakuan-kelakuan miringnya yang sungguh
berbeda dari kelakuan asli ketika pertama kali bertemu.
“Nai, di mana?”
“Rumah. Kenapa, Ra?. Udah mau pulang?”
“Iya. Jemput diriku dong. Aku udah diparkiran depan fakultasmu.”
“Oke. Tungguin bentar. Mau siap-siap dulu.”
“Oke.”
Saling jemput-menjemput adalah profesi sampingan kami selain
menjadi mahasiswa di fakultas masing-masing, dan motor yang dipakai untuk mondar-mandir
adalah miliknya Rora. Rora yang selalu berseru; ini motor bersama, Nai. Aku pakai, kamu juga. Gak usah sungkan. Asalkan
kau jaga nih kesayanganku dengan baik. hahaha. Ya, Rora memang cukup
berbeda dengan aku. Kalau aku ya, kesayangannya
adalah Doi, tapi Rora, kesayangannya
motor. Diotaknya kalau bukan urusan motor kapan dibawa ke salon, ya buku-buku
yang keluar terbaru di gramedia, atau terkait tugas-tugas kuliahnya.
Aku sering bertanya-tanya, kok bisa barengan hampir mau 4
tahun dengan perempuan super ceria dan sifat serta kebiasaan yang berbeda. Hobi
ku menonton, dan Rora sangat jarang sekali menonton, kecuali dipaksa. Aku kalau
baca buku atau belajar, gak pernah fokus-fokus amat dan keseringan suka ngantuk
padahal baru baca beberapa halaman. Sedangkan, Rora, membaca buku sampai enek.
Pernah dalam satu hari, libur, ia menghabiskan satu harinya untuk menamatkan novel.
Istrahat ketika akan beli makan, mandi, dan ibadah. Aku tertegun dan pusing
melihat aktivitasnya yang hanya di atas tempat tidur, dari duduk hingga
rebahan.
“Astaga, Naila. Udah siang. Gak sholat subuh dirimu!”
“Eh, sholat. Astagfirullah. Jam berapa ini?”
“Jam 5 pas. 10 menit lagi mau terbit lho.”
Walaupun berbeda hobi dan sifat, Rora tetap menjadi
seseorang yang sangat aku syukuri kehadirannya. Selain kecerian dan
kegilaannya, ia adalah alarm berjalan milikku. Terutama untuk waktu sholat.
Salah satunya seperti percakapan di atas. Adalah percakapan mengingatkannya
untukku segera sholat. Subuh, dzuhur, ashar, magrib, dan isya. 5kali yang
wajib, 5kali itu pun ia berkicau.
“Ngaji dulu sebelum nonton.” Seru Rora sewaktu pagi di hari
libur.
“Nambahin Sunnah lho, Nai.” Celetuk Rora seusai sholat
berjamaah
“Doa-doa dulu sebelum rebahan.” Kata Rora.
Berisik? Sangat. Tapi, berisiknya perlahan-lahan membantuku
untuk setidaknya lebih rajin sholat wajib padahal sebelumnya suka
bolong-bolong. Yang gak pernah punya Al-Quran kecil untuk dibawa kemana-mana
kini punya karena dihadiahkan olehnya. Kayak lagu, aku yang dulu, bukanlah yang sekarang.
“Ngapain, Nai?”
“Liatin youtuber yang review makanan. Hehe.”
“Oh. Lapar, nih. Cari makan, yuk.”
“Berangkat. Aku juga lapar. Haha. Kamu yang nyetir, ya.” Drama kami di mulai.
“Kamu sajalah. Sekali ini doang.”
“Gak, gantian, tadikan udah nyetir dari kampus.”
“Oh, hitung-hitungan nih.” Ini adalah kalimat andalannya Rora, di mana aku yang
polos dan tidak enakkan suka luluh dan mengalah. Haha.
“Ehm, mulai deh.” Tapi Rora gak pernah mau mengalah walaupun aku berseru
begitu.
“Eh, aku kebetulan lagi pakai kaos kaki yang pendek, nih.” Drama siapa yang
akan menyetir dan dibonceng masih berlanjut.
“Aku lho kaos kaki anak kecil.”
“Kamukan biasa pakai kaos kaki begituan. Gak masalah kali, Nai.”
“Kan kamu juga biasa, Ra.”
“Astaga, Nai. Yaudah sini aku yang nyetir motornya. Keburu lapar.”
Aku berseru yes. Karena ia sudah
sangat lapar, tidak ingin melanjutkan dramanya.
Selain persoalan siapa yang nyetir dan dibonceng, kami juga
sering cekcok terkait siapa yang akan jadi Imam tiap mau sholat berjamaah. Juga
dalam menentukkan akan makan apa dan di mana. Juga tentang obrolan seperti
dibawah ini. Aku yang selalu senang memberikkan dua pilihan kepada Rora dan
memintanya memilih.
“Ra, kalau dikasih pilihan, antara cowok biasa saja tapi
sholeh atau kaya raya tapi gak sholeh. Kamu bakal pilih yang mana?” Aku memulai
drama lain di kehidupan perkontrakan kami.
“Eh, mesti nih anak. Pilihan yang benar itu ya, Cowok sholeh, kaya, PNS atau
Cowok sholeh, kaya, wirausaha. Yang sepadan gitu lho.” Kalimat protesnya yang
tidak pernah berubah tiap diberi pilihan.
“Pilih saja salah satu dari dua pilihan yang ada.” Tentu saja kalimat balasan
andalanku.
“Males ah. Pilihannya ga normal. Kalau aku balik nanya, dari 2 pilihan itu,
kamu bakal pilih yang mana?” Selain berseru oh
hitung-hitungan nih, ini adalah kalimat setia Rora juga.
“Ya gak bisalah. Kan aku yang punya pertanyaan dan bertanya ke kamu.“
“Tuh kan, kamu aja bingung mau jawab gimana. Wkwk.”
“Ngeselin.”
“Lha, benarkan?. Lain kali, dan ini udah sering banget aku bilang, kalau bikin
pilihan yang jelas, wajar, dan bisa dipertimbangkan.” Akan kalimat-kalimat sok bijak nya yang sadar gak sadar telah
merubah hidupku sedkit demi sedikit.
“Pertanyaan tadi aman padahal. Bisa dipertimbangkan.”
“Mana ada pertimbangannya. Nai, jawaban dari pertanyaan itu bisa jadi doa.” Alarm
berjalanku sungguh benar-benar serius ya menanggapinya.
“Atau coba pertanyaannya diganti dulu. aku baru mau jawab.” Lanjut Rora,
menambahkan.
“ah, yaudah. Bete!” Aku bergegas mengganti posisi. Mengambil laptop, dan
mencari acara yang bagus dan seru untuk ditonton.
Rora tertawa.
Begitulah
perdepatan-perdebatan kecil kami selama menjalani kehidupan perkontrakan. Yang sadar
ataupun tidak, hal itu pulalah yang menjadikan kami semakin dekat satu sama
lain. Tidak hanya dekat secara pribadi, tapi berdampak ke keluarga juga. Rora
yang memang tampak lebih dewasa dan bijak (kadang-kadang) sangat pandai sekali
mengambil hati juga akrab dengan keluargaku. Aku, Rora dan Tika terus berusaha
saling mengabarkan kabar dan bercerita. Kehidupan masing-masing yang sedang
dijalani, sebagai seorang Ibu beranak satu, sebagai seorang istri baru, dan
juga seorang rantauan. Tika tidak tinggal bersama dengan akmi pada akhirnya,
karena ia telah diterima di salah satu kampus di kota yang jaraknya dengan kota
yang sedang kami tempati merantau adalah 8 jam perjalanan dengan menumpang kereta.
Komentar
Posting Komentar