Memberi ruang agar bisa mengobrol
lebih banyak dengannya.
Salah tingkah menjadi sesekali
muncul ketika berinteraksi. Menatap dengan hati-hati agar tidak terpesona kepadanya
saat mengobrol. Terlihat tidak ada apa-apa dengan sebaik mungkin. Walaupun kadang
kecolongan.
Sudah hampir 18 bulan bekerja
sama di bawah atap dan di atas lantai yang sama. Beberapa momen canggung
ditemui, keakraban mengalir begitu saja, ketidaksengajaan yang sering kali
membuat debar tidak karuan.
“Bagaimana kabarnya Tio, Zah?” Rian meninggalkan komentar di salah satu unggahan foto di sosial medianya Zah.
Foto itu berisi Zah dan teman beserta keluarga kecilnya.
“Loh, kenal sama Tio ya?”. Zah
cukup kaget karena rupanya satu sama lain mengenal orang yang sama. Tio ini
adalah suami temannya Zah.
“Kenal lah, Zah. Dulu kami pernah
satu kelompok sewaktu acara diklat di komunitas olahraga yang diikuti.”
“Wah, keren. Kabarnya mereka baik-baik
saja. Ya ampun, berasa dunia selebar daun kelor.”
“Kenal sama Tio udah lama juga,
Zah?”
“Kenal sebatas tahu aja. Istri
dari Tio baru temanku.”
“Oh, pantesan. Salam ya buat Tio
dan istri…”
“Nanti kusampaikan kalau ketemu
mereka sore nanti.”
Obrolan itu dilanjut dengan satu
dua topik, setelah itu selesai. Zah, kembali mengurus pekerjaannya. Hari libur
seperti ini ia disibukkan dengan orderan jualannya yang masuk. Usaha sampingan
yang telah ia geluti sejak setahun lalu, dan setahun kemudian mendapatkan
pekerjaan tetap di sebuah penerbitan indie di kota yang sudah ditempati kurang
lebih 8 tahun. Waktu yang tidak sebentar.
Rian dan Zah
berada di tim yang sama, sebagai editor. Ketika Zah masuk, Rian hampir genap 2 tahun
bekerja. Ia memulai karirnya ketika masih berstatus mahasiswa. Jam terbang Rian
dalam dunia pereditan sudah jauh dibandingkan Zah misalnya yang baru menggeluti
bidang tersebut. Sedangkan, di tempat lain, setahun lalu, Zah, masih sibuk
dengan berkas-berkas untuk mengurus kelulusan dan menghabiskan waktu libur
sembari menunggu jadwal wisuda di rumahnya. Ya, Zah, memutuskan untuk pulang
kampung selama 2 bulan lebih.
Dua kesibukan
yang tidak saling berkesinabungan, sosok yang tidak saling dikenal, hingga takdir
menggariskan pertemuan keduanya. Zah memutuskan untuk mencicipi dunia
penerbitan karena kegemarannya dalam dunia sastra dan kepenulisan. Selain
mengikuti komunitas-komunitas, ia juga mengasah dan menambah ilmu terkait
kepenulisan lewat seminar-seminar. Antusias yang menggebu-gebu, lebih
bersemangat menyambut kelas-kelas itu dari pada kelas perkuliahannya. Memang
betul apa yang akhir-akhir ini ia pikirkan, bahwa dirinya telah termasuk dalam
kelompok orang-orang yang salah jurusan. Padahal itu adalah jurusan yang ketika
SMA merasa cocok dan Zah banget. Nyatanya, setelah dijalani, tidak demikian.
Namun, ia tetap melanjutkan dan menyelesaikan kuliahnya dengan sepenuh hati,
walalupun seperti merangkak.
Siapa yang akan mengira dengan
cerita hidup seseorang 6 bulan kemudian, setahun kemudian, dan 5 tahun
kemudian, bahkan satu bulan kemudian pun tidak ada yang tahu pasti. Ya, Zah
juga tidak menyangka ia akan berakhir di tempat kerja dan bersama dengan semua
urusan yang sama sekali tidak sefrekuensi dengan perilmuannya di bangku kuliah.
“Ri, naskah yang antologi genre
thriller kemarin jadi kapan terakhir dikumpulkan?” Yang diajak berbicara segera
membuka catatannya.
“3 hari lagi tutup”
“Update penulis yang ikut jadi
berapa jumlahnya?”
“sudah pas, 25 orang. Setelah ini
aku mau edit naskah antologi lain. Kamu bisa bantuin buat ingatin ke peserta
dan update kegiatan di sosmed, gak?”
Aku mengangguk berseru bisa untuk
membantunya. Karena usaha penerbitan masih baru, sehingga pekerjaan para
karyawannya jadi berbagai macam. Serabutan. Kalau bisa dilakukan, maka sangat
dipersilahkan.
6 hari dalam
seminggu. 9 jam dalam 24 jam. Berinteraksi lagi, lagi dan lagi. Alur yang
familiar sekali untuk menjadi alasan kuat adanya pertemuan dua orang atau
lebih. Yang bisa jadi berakhir jadi pasangan hidup, atau sebagai seorang
mantan, juga adanya lingkaran pertemanan baru yang terbentuk. Zah menemukan
hal-hal baru dalam setiap interaksi yang dilakukan bersama orang-orang di bawah
satu atap rumah kerja. Ia menemukan, sekaligus memercikan air garam pada luka
yang belum pulih.
“Kenapa kenapa?” Rian suatu hari.
“Dicek dulu. Apa sudah disave atau belum baru dimatikan atau
ditinggal komputernya. Jangan buru-buru, lho.” Rian suatu pagi
“Mana-mana yang gak dimengerti?”
Rian di suatu siang
“Coba dikerjakan dulu, kalau
mentok gak bisa, kubantu.” Rian di suatu malam ketika mereka lembur menyelesaikan
editan dan mengurus beberapa pekerjaan lain yang harus segera dibereskan.
“Anak ini loh makannya banyak
tapi gak gemuk-gemuk.” Setelah 6 bulan bekerja.
“Zah, mau ikutan pesan makan gak?
Apa?” 9 bulan bekerja.
“Kamu termasuk keren lho, bisa
segera akrab sama teman-teman yang lain, bahkan dengan Kak Azka dikenal super
serius orangnya dan kamu sudah bisa akrab dalam waktu sebulan doang. Bahkan
kurang.” Pujiannya di hari kerja.
Yang lambat laun, atas segala
kebaikan dan tanggungjawabnya dalam sebuah tim, membuat Zah memberikan ruang
khusus untuk semua hal-hal terjadi dengannya. Ketika mengobrol. Saling melempar
tanya sekaligus jawaban. Membantu ini. Merapikan file-file. Ramah dengan yang
lain. Kocak juga suaranya yang merdu sekali kalau saat bernyanyi. Membuat Zah
menambah pekerjaan sampingan lain yaitu sibuk merangkai satu kejadian dengan
kejadian lainnya, mencocokan, menerka-nerka dan percaya diri memberikan
kesimpulan sepihak pada perhatian yang diterimanya. Ia mengabaikan,
berkali-kali suara pengingat dalam diri berseru, boleh jadi, perlakuan dan perhatian yang sama itu bukan hanya pada
dirimu, Zah. sadarlah. Sayangnya, Zah masih terus maju pada medang
pertemuan-pertemuan baru yang akan terjadi, entah akan seperti apa. Apakah semua
akan baik-baik saja? atau sebaliknya.
Waktu merangkak
maju, berganti jam, hari, bulan, bulan, dan tahun. Keakraban yang semakin
bertambah baik. Zah lupa kapan ia bertekad untuk selalu ramah kepada semua
orang. Tapi ia ingat kenapa ia harus bersikap seperti itu. Ia ingin menjadi
bagian orang yang menyambut sedih orang yang ditemui dengan ikut membantu
menghiburnya. Memang tidak menyelesaikan masalah saat itu juga, tapi setidaknya
ada tawa dan kelegaan hati sejenak. Yang mungkin setelah itu bisa menemukan
jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi.
Kalau ditanya,
apakah ia adalah perempuan yang mudah jatuh cinta, jawabannya adalah mudah
sekali. Bahkan dengan senyum dan kebaikan kecil dari seseorang bisa membuatnya
berempati dan tangki sayanngnya kepada seseorang tersebut bertambah-tambah. Ia selalu
ingin tampil beda untuk menunjukkan seberapa besar sayangnya yang dimiliki
untuk seseorang tersebut.
Zah yang yang selalu berprasangka
baik….
Ia telah
terbang, merasa mendapatkan perhatian lebih dari seseorang yang selama ini
bekerja sama dengannya. Chit-chat yang
mengalir, kocak, dan seru. Ia telah kemana-mana. Orang-orang sering
mengingatkan untuk hanya membalas pesan dengan tangan, tapi Zah selalu
kelewatan batas, ia membalas dengan hati, senyum paling tulus, juga tawa paling
renyah.
Ia telah
berpikir bagaimana caranya seseorang itu datang kepadanya dengan niat yang
mulia. Bagaimana penampilannya ketika bertemu pertama kali ketika menerima
pernyataan serius seseorang. Apa saja yang perlu ia tanyakan kepada seseorang
itu. Bagaimana ia akan menguraikan mimpi-mimpinya kepada seseorang. Apakah
seseorang itu akan menerima mimpinya? Apakah siap mendukungnya penuh? Ah,
pikiran ia telah kemana-mana hanya karena perhatian-perhatian juga kebaikan
yang didapatkan dari seseorang.
Zah yang malang….
Ia terlalu jauh
memikirkan hal yang bahkan terlintas pada seseorang itu sama sekali tidak. ia
telah terjebak oleh asumsi-asumsinya sendiri. Ia telah jatuh di lubang yang
sama. Mudah luluh dan sayang dengan seseorang, berakhir membuatnya berekspetasi.
Hari itu adalah pertemuan terakhirnya sebelum keesokan hari ia menerima kabar
yang membuat seluruh tubuhnya lunglai, hatinya loyo, dan pikirannya bercampur
aduk. Ramai. padahal di sekitarnya sepi. Kosong padahal di sekitarnya banyak
orang berlalu lalang, kerja.
Sore sebelum kabar itu ia terima…
Langit di luar
mendung. Awan-awan hitam seperti para penggemar fanatik sepakbola sedang
arak-arakan memenuhi jalan. Awan hitam memenuhi langit biru yang terbentang
sejauh mata memandang. Suara petir bergemuruh sahut menyahut. Di dalam ruangan,
masih tersisa beberapa orang, termasuk Rian dan Zah. Mereka cukup sibuk memang
sejak kemarin. Selain mengurusi naskah-naskah yang masuk, mereka juga merangkap
mengurus kelas-kelas pelatihan kepenulisan. Orang-orang sering menyebut mereka
adalah dikerjain pekerjaan. Aslinya, mereka senang-senang aja melakukan itu
semua. Tidak ada beban yang berarti atas apa yang sedang dikerjakan walaupun
harus lembur sekalipun. Mereka sudah jatuh cinta dengan kesibukan-kesibukan
yang ada. Rian tidak menawarkan apa-apa sebelumnya, ia ke mejanya Zah,
meletakkan sekotak makanan dan minuman. Rian memang seorang pemerhati yang pandai.
Dengan sikap itu telah membuat Zah, Si mudah luluh terhadap kebaikkan seseorang
resmi menyadang menyukai diam-diam dan berharap disukai diam-diam juga.
“Dimakan dulu makananya, Zah.
Keburu dingin nanti. Gak enak.” Katanya sembari menenunjuk sekotak makanan dan
minuman di atas meja.
Makanan itu habis. Gak salah
memang penilaian seorang Rian tentang ia yang suka sekali makan dan banyak.
Rian tertawa melihat kelahapan perempuan yang mejanya berada di seberang meja
kerjanya. Rian tidak tahu bahwa perhatian kecilnya itu telah menumbuhkan
beribu-ribu harapan seorang perempuan yang punya penyakit mudah jatuh cinta.
“Bawa jas hujan, gak?” di depan
kantor penerbitan. Hujannya awet hingga mereka selesai kerja sekitar jam 8
malam.
“Kelupaan…” Zah nyengir. Rian
menggeleng-geleng.
Ia berjalan masuk ke ruangan, mengambil
payung di belakang mejanya, dan segera berlarian ke motor. Membuka jok, dan
mengeluarkan tas hitam polos. Zah melihatnya tanpa bertanya apapun.
“ini dipake biar bisa pulang.”
Rian menyodorkan jas hujan berwarna ungu kepada Zah. Zah menerima dan berseru
pinjam dan berterimakasih. Di hatinya, Zah telah kemana-mana. Sudah seperti
taman bunga. Ramai oleh warna-warni bunga bermekaran, di kelilingi oleh
kumbang-kumbang. Sebuah pemandangan taman yang indah. Ia, taman di hatinya,
Zah. Hanya ia seorang yang bisa menikmati keindahan itu.
Dari dalam ruangan, terdengar
suara Kak Azka yang minta ditungguin. Tidak seperti Zah yang tanpa persiapan,
Kak Azka telah berdiri di antara mereka dengan tas ransel menempel dipunggung
dan sebuah mantel digenggamnya. Segera dipakai.
Gak ada angin, tapi ada hujan,
Kak Azka tiba-tiba mengeluarkan HPnya dan mengajak mereka berfoto bersama.
Keseriusan Kak Azka selama ini memang patut diacungi jempol, tapi keanehannya
yang sesekali muncul juga patut diberikan jempol.
“Sudah lama ga ngonten. Kalian
berdua telah bekerja keras hari ini, jadi gak apa-apalah masuk sosmedku. Siapa
tahu follower kalian bertambah…” seru Kak Azka sembarang.
“Follower Kak Azka kali yang
nambah karena ada kita berdua…” Zah menimpali
Mereka bertiga tertawa dan
beberapa ekspresi telah terbadikan. Foto bersama yang unik. Dengan jas hujan,
wajah yang telah lelah karena seharian berkutat dengan banyak cerita dan
kegiatan, dan hujan malam itu baru reda setelah satu jam kemudian mereka tiba
di rumah masing-masing.
Keesokan
harinya, Zah telah segar kembali setelah semalam tidur sangat nyenyak. Kembali
bersiap untuk bekerja, dan bisa pulang tepat waktu karena deadline sudah diselesaikan semalam. Hari yang cerah, sebab
matahari muncul tanpa malu-malu. Jalan-jalan masih basah karena sisa hujan
semalam. Zah pun melajukan motornya menuju tempat kerja dengan kecepatan
sedang. Dengan perasaan yang masih baik-baik saja, ia menyambut hari dengan
penuh kehangatan dan keceriaan. Setibanya di tempat kerja, ia menyapa semua
orang yang sudah lebih dulu tiba. Meja di depannya masih kosong. Tas nya juga
belum terlihat. Sepertinya ia akan telat. Begitulah gumamnya dalam hati.
Jam 9 pagi, dan seseorang yang
ditungguinnya walaupun ia berseru tidak menunggu akhirnya muncul juga. Zah
mengatur mikik wajah, berusaha untuk tetap terlihat tidak mencolok atau mengatur
irama detak jantungnya agar tidak sampai terdengar. Zah tertawa sendiri akan
kekonyolan itu.
“Hai, Rian. Telat ya?” yang
dijawab dengan anggukan ya.
“Apa tuh? Undangan?....” deg….
Suara Zah menggantung... Rian menaruh tasnya terlebih dahulu dan tersenyum
kepada Zah.
“Betul, Zah. Doakan ya semoga
lancar-lancar acaranya…”
Waktu terasa berhenti berputar
dalam seperkian detik. Sekitarnya seperti tidak berpenghuni, kecuali seorang
diri. Hingga, selembar kertas yang terbungkus dalam plastik itu menyentuh
tangannya, dan ia kembali pada kenyataan bahwa selama ini benar adanya, hanya
ia seorang yang mengartikan lebih atas semua kebaikan dan perhatian yang ada.
Ia tertawa, menertawakan diri sendiri atas kegeerannya. Ia tertawa, atas
kemudahannya untuk sayang kepada orang lain secara berlebih-lebihan. Ia
tertawa, atas semua hal yang ia pikirkan.
“Ku ikutan senang. Selamat ya,
Rian. Udah mau nikah aja nih. Semoga dilancarkan semua persiapannya.”
“Amin. Terimakasih ya, Zah. Mohon
doanya. Semoga kamu segera menyusul.”
“Amin…..”
Hatinya mendadak mendung. Seluruh
badan serasa tak bertulang. Dalam beberapa saat ia kacau. Berdiam diri. Matanya
tidak lepas dari sebuah undangan yang berada di hadapannya. Sebuah nama yang
selama ini menjelma jadi puisi-puisinya. Menjelma berkalimat-kalimat cerita.
Sadarnya masih belum kembali. Hingga beberapa hari kemudian, saat mendekati
hari H bahagianya Rian, Zah akhirnya bisa memahami semua kejadian yang sedang
ia hadapi. Ia sadar akan kelemahannya yang mudah untuk jatuh cinta, dan sejak
saat itu, ia kembali jatuh pada lubang yang sama walaupun sudah mewanti diri
untuk tidak terjerumus lagi.
Dalam hal jatuh
cinta, Zah memang selalu totalitas akan perasaanya. Ia selalu memberikan
ruangan untuk perasaan itu berkembang. Pertama-tama karena ia memang kesulitan
mengendalikan perasaannya, karena kesulitan itu lah yang membuatnya berakhir
dengan menulis. Karena dengan menulis, kesemrawutan di hati, di pikiran mampu
teratasi, meninggalkan kelegaan, dan semakin lama, itu menjadi satu
kelebihannya untuk pandai ikut serta berempati merasakan perasaan orang lain
walaupun tidak valid 100%. Kedua, ia menerima dan membiarkan perasaan itu ada
untuk mengasah kepekaan dirinya, berharap tulisan-tulisannya bisa bernyawa.
Zah yang kembali menata hatinya,
bangkit setelah patah sendirian….
Ia tidak pernah
menyesal dan marah yang berlebihan, karena ia paham bagaimana dirinya sendiri.
Ia memutuskan menjadikan kelemahannya tersebut sebagai kelebihan. Setidaknya untuk
dirinya sendiri, untuk orang lain dan sekitar hanyalah bonus dari proses
perjalanannya untuk lebih dekat dan bersahabat dengan diri sendiri dan juga
Tuhan.
Zah yang ramah…..
Keesokan lusanya, hari H itu
telah tiba, ia pun totalitas mempersiapkan dirinya. Bahkan, rela melakukan hal
konyol demi ke acara perniakahan seorang yang pernah ia sukai…..
lama gak baca novel yang bisa ikut hanyut pas baca..
BalasHapussukaaa :')
Jadiii ini secara langsung cerita bersambungku bikin hanyut mbakk nih?? Aku terhanyuttt baca komen mbak sambil senyum2...❤❤
Hapushuah, masyaAllah. keren sekaliiiii. you're improved a lot! keep on going!
BalasHapusGak nyangka cenu bikin novel. Apakah ini kisah nyatamu? Wkwkwkwk. Mas Imad mau nulis juga nih... sayangnya cerita di real life nya belum tamat
BalasHapus