Eps. 1: Kebaikan yang Menyisahkan Luka #cerbung2021

 

Memberi ruang agar bisa mengobrol lebih banyak dengannya.

Salah tingkah menjadi sesekali muncul ketika berinteraksi. Menatap dengan hati-hati agar tidak terpesona kepadanya saat mengobrol. Terlihat tidak ada apa-apa dengan sebaik mungkin. Walaupun kadang kecolongan.

Sudah hampir 18 bulan bekerja sama di bawah atap dan di atas lantai yang sama. Beberapa momen canggung ditemui, keakraban mengalir begitu saja, ketidaksengajaan yang sering kali membuat debar tidak karuan.

“Bagaimana kabarnya Tio, Zah?” Rian meninggalkan komentar di salah satu unggahan foto di sosial medianya Zah. Foto itu berisi Zah dan teman beserta keluarga kecilnya.

“Loh, kenal sama Tio ya?”. Zah cukup kaget karena rupanya satu sama lain mengenal orang yang sama. Tio ini adalah suami temannya Zah.  

“Kenal lah, Zah. Dulu kami pernah satu kelompok sewaktu acara diklat di komunitas olahraga yang diikuti.”

“Wah, keren. Kabarnya mereka baik-baik saja. Ya ampun, berasa dunia selebar daun kelor.”

“Kenal sama Tio udah lama juga, Zah?”

“Kenal sebatas tahu aja. Istri dari Tio baru temanku.”

“Oh, pantesan. Salam ya buat Tio dan istri…”

“Nanti kusampaikan kalau ketemu mereka sore nanti.”

Obrolan itu dilanjut dengan satu dua topik, setelah itu selesai. Zah, kembali mengurus pekerjaannya. Hari libur seperti ini ia disibukkan dengan orderan jualannya yang masuk. Usaha sampingan yang telah ia geluti sejak setahun lalu, dan setahun kemudian mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah penerbitan indie di kota yang sudah ditempati kurang lebih 8 tahun. Waktu yang tidak sebentar.

Rian dan Zah berada di tim yang sama, sebagai editor. Ketika Zah masuk, Rian hampir genap 2 tahun bekerja. Ia memulai karirnya ketika masih berstatus mahasiswa. Jam terbang Rian dalam dunia pereditan sudah jauh dibandingkan Zah misalnya yang baru menggeluti bidang tersebut. Sedangkan, di tempat lain, setahun lalu, Zah, masih sibuk dengan berkas-berkas untuk mengurus kelulusan dan menghabiskan waktu libur sembari menunggu jadwal wisuda di rumahnya. Ya, Zah, memutuskan untuk pulang kampung selama 2 bulan lebih.  

Dua kesibukan yang tidak saling berkesinabungan, sosok yang tidak saling dikenal, hingga takdir menggariskan pertemuan keduanya. Zah memutuskan untuk mencicipi dunia penerbitan karena kegemarannya dalam dunia sastra dan kepenulisan. Selain mengikuti komunitas-komunitas, ia juga mengasah dan menambah ilmu terkait kepenulisan lewat seminar-seminar. Antusias yang menggebu-gebu, lebih bersemangat menyambut kelas-kelas itu dari pada kelas perkuliahannya. Memang betul apa yang akhir-akhir ini ia pikirkan, bahwa dirinya telah termasuk dalam kelompok orang-orang yang salah jurusan. Padahal itu adalah jurusan yang ketika SMA merasa cocok dan Zah banget. Nyatanya, setelah dijalani, tidak demikian. Namun, ia tetap melanjutkan dan menyelesaikan kuliahnya dengan sepenuh hati, walalupun seperti merangkak.

Siapa yang akan mengira dengan cerita hidup seseorang 6 bulan kemudian, setahun kemudian, dan 5 tahun kemudian, bahkan satu bulan kemudian pun tidak ada yang tahu pasti. Ya, Zah juga tidak menyangka ia akan berakhir di tempat kerja dan bersama dengan semua urusan yang sama sekali tidak sefrekuensi dengan perilmuannya di bangku kuliah.

“Ri, naskah yang antologi genre thriller kemarin jadi kapan terakhir dikumpulkan?” Yang diajak berbicara segera membuka catatannya.

“3 hari lagi tutup”

“Update penulis yang ikut jadi berapa jumlahnya?”

“sudah pas, 25 orang. Setelah ini aku mau edit naskah antologi lain. Kamu bisa bantuin buat ingatin ke peserta dan update kegiatan di sosmed, gak?”

Aku mengangguk berseru bisa untuk membantunya. Karena usaha penerbitan masih baru, sehingga pekerjaan para karyawannya jadi berbagai macam. Serabutan. Kalau bisa dilakukan, maka sangat dipersilahkan.

6 hari dalam seminggu. 9 jam dalam 24 jam. Berinteraksi lagi, lagi dan lagi. Alur yang familiar sekali untuk menjadi alasan kuat adanya pertemuan dua orang atau lebih. Yang bisa jadi berakhir jadi pasangan hidup, atau sebagai seorang mantan, juga adanya lingkaran pertemanan baru yang terbentuk. Zah menemukan hal-hal baru dalam setiap interaksi yang dilakukan bersama orang-orang di bawah satu atap rumah kerja. Ia menemukan, sekaligus memercikan air garam pada luka yang belum pulih.

“Kenapa kenapa?” Rian suatu hari.

“Dicek dulu. Apa sudah disave atau belum baru dimatikan atau ditinggal komputernya. Jangan buru-buru, lho.” Rian suatu pagi

“Mana-mana yang gak dimengerti?” Rian di suatu siang

“Coba dikerjakan dulu, kalau mentok gak bisa, kubantu.” Rian di suatu malam ketika mereka lembur menyelesaikan editan dan mengurus beberapa pekerjaan lain yang harus segera dibereskan.

“Anak ini loh makannya banyak tapi gak gemuk-gemuk.” Setelah 6 bulan bekerja.

“Zah, mau ikutan pesan makan gak? Apa?” 9 bulan bekerja.

“Kamu termasuk keren lho, bisa segera akrab sama teman-teman yang lain, bahkan dengan Kak Azka dikenal super serius orangnya dan kamu sudah bisa akrab dalam waktu sebulan doang. Bahkan kurang.” Pujiannya di hari kerja.

Yang lambat laun, atas segala kebaikan dan tanggungjawabnya dalam sebuah tim, membuat Zah memberikan ruang khusus untuk semua hal-hal terjadi dengannya. Ketika mengobrol. Saling melempar tanya sekaligus jawaban. Membantu ini. Merapikan file-file. Ramah dengan yang lain. Kocak juga suaranya yang merdu sekali kalau saat bernyanyi. Membuat Zah menambah pekerjaan sampingan lain yaitu sibuk merangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya, mencocokan, menerka-nerka dan percaya diri memberikan kesimpulan sepihak pada perhatian yang diterimanya. Ia mengabaikan, berkali-kali suara pengingat dalam diri berseru, boleh jadi, perlakuan dan perhatian yang sama itu bukan hanya pada dirimu, Zah. sadarlah. Sayangnya, Zah masih terus maju pada medang pertemuan-pertemuan baru yang akan terjadi, entah akan seperti apa. Apakah semua akan baik-baik saja? atau sebaliknya.

Waktu merangkak maju, berganti jam, hari, bulan, bulan, dan tahun. Keakraban yang semakin bertambah baik. Zah lupa kapan ia bertekad untuk selalu ramah kepada semua orang. Tapi ia ingat kenapa ia harus bersikap seperti itu. Ia ingin menjadi bagian orang yang menyambut sedih orang yang ditemui dengan ikut membantu menghiburnya. Memang tidak menyelesaikan masalah saat itu juga, tapi setidaknya ada tawa dan kelegaan hati sejenak. Yang mungkin setelah itu bisa menemukan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi.

Kalau ditanya, apakah ia adalah perempuan yang mudah jatuh cinta, jawabannya adalah mudah sekali. Bahkan dengan senyum dan kebaikan kecil dari seseorang bisa membuatnya berempati dan tangki sayanngnya kepada seseorang tersebut bertambah-tambah. Ia selalu ingin tampil beda untuk menunjukkan seberapa besar sayangnya yang dimiliki untuk seseorang tersebut.

Zah yang yang selalu berprasangka baik….

Ia telah terbang, merasa mendapatkan perhatian lebih dari seseorang yang selama ini bekerja sama dengannya. Chit-chat yang mengalir, kocak, dan seru. Ia telah kemana-mana. Orang-orang sering mengingatkan untuk hanya membalas pesan dengan tangan, tapi Zah selalu kelewatan batas, ia membalas dengan hati, senyum paling tulus, juga tawa paling renyah.

Ia telah berpikir bagaimana caranya seseorang itu datang kepadanya dengan niat yang mulia. Bagaimana penampilannya ketika bertemu pertama kali ketika menerima pernyataan serius seseorang. Apa saja yang perlu ia tanyakan kepada seseorang itu. Bagaimana ia akan menguraikan mimpi-mimpinya kepada seseorang. Apakah seseorang itu akan menerima mimpinya? Apakah siap mendukungnya penuh? Ah, pikiran ia telah kemana-mana hanya karena perhatian-perhatian juga kebaikan yang didapatkan dari seseorang.

Zah yang malang….

Ia terlalu jauh memikirkan hal yang bahkan terlintas pada seseorang itu sama sekali tidak. ia telah terjebak oleh asumsi-asumsinya sendiri. Ia telah jatuh di lubang yang sama. Mudah luluh dan sayang dengan seseorang, berakhir membuatnya berekspetasi. Hari itu adalah pertemuan terakhirnya sebelum keesokan hari ia menerima kabar yang membuat seluruh tubuhnya lunglai, hatinya loyo, dan pikirannya bercampur aduk. Ramai. padahal di sekitarnya sepi. Kosong padahal di sekitarnya banyak orang berlalu lalang, kerja.

Sore sebelum kabar itu ia terima…

Langit di luar mendung. Awan-awan hitam seperti para penggemar fanatik sepakbola sedang arak-arakan memenuhi jalan. Awan hitam memenuhi langit biru yang terbentang sejauh mata memandang. Suara petir bergemuruh sahut menyahut. Di dalam ruangan, masih tersisa beberapa orang, termasuk Rian dan Zah. Mereka cukup sibuk memang sejak kemarin. Selain mengurusi naskah-naskah yang masuk, mereka juga merangkap mengurus kelas-kelas pelatihan kepenulisan. Orang-orang sering menyebut mereka adalah dikerjain pekerjaan. Aslinya, mereka senang-senang aja melakukan itu semua. Tidak ada beban yang berarti atas apa yang sedang dikerjakan walaupun harus lembur sekalipun. Mereka sudah jatuh cinta dengan kesibukan-kesibukan yang ada. Rian tidak menawarkan apa-apa sebelumnya, ia ke mejanya Zah, meletakkan sekotak makanan dan minuman. Rian memang seorang pemerhati yang pandai. Dengan sikap itu telah membuat Zah, Si mudah luluh terhadap kebaikkan seseorang resmi menyadang menyukai diam-diam dan berharap disukai diam-diam juga.

“Dimakan dulu makananya, Zah. Keburu dingin nanti. Gak enak.” Katanya sembari menenunjuk sekotak makanan dan minuman di atas meja.

Makanan itu habis. Gak salah memang penilaian seorang Rian tentang ia yang suka sekali makan dan banyak. Rian tertawa melihat kelahapan perempuan yang mejanya berada di seberang meja kerjanya. Rian tidak tahu bahwa perhatian kecilnya itu telah menumbuhkan beribu-ribu harapan seorang perempuan yang punya penyakit mudah jatuh cinta.  

“Bawa jas hujan, gak?” di depan kantor penerbitan. Hujannya awet hingga mereka selesai kerja sekitar jam 8 malam.

“Kelupaan…” Zah nyengir. Rian menggeleng-geleng.

Ia berjalan masuk ke ruangan, mengambil payung di belakang mejanya, dan segera berlarian ke motor. Membuka jok, dan mengeluarkan tas hitam polos. Zah melihatnya tanpa bertanya apapun.

“ini dipake biar bisa pulang.” Rian menyodorkan jas hujan berwarna ungu kepada Zah. Zah menerima dan berseru pinjam dan berterimakasih. Di hatinya, Zah telah kemana-mana. Sudah seperti taman bunga. Ramai oleh warna-warni bunga bermekaran, di kelilingi oleh kumbang-kumbang. Sebuah pemandangan taman yang indah. Ia, taman di hatinya, Zah. Hanya ia seorang yang bisa menikmati keindahan itu.

Dari dalam ruangan, terdengar suara Kak Azka yang minta ditungguin. Tidak seperti Zah yang tanpa persiapan, Kak Azka telah berdiri di antara mereka dengan tas ransel menempel dipunggung dan sebuah mantel digenggamnya. Segera dipakai.

Gak ada angin, tapi ada hujan, Kak Azka tiba-tiba mengeluarkan HPnya dan mengajak mereka berfoto bersama. Keseriusan Kak Azka selama ini memang patut diacungi jempol, tapi keanehannya yang sesekali muncul juga patut diberikan jempol.

“Sudah lama ga ngonten. Kalian berdua telah bekerja keras hari ini, jadi gak apa-apalah masuk sosmedku. Siapa tahu follower kalian bertambah…” seru Kak Azka sembarang.

“Follower Kak Azka kali yang nambah karena ada kita berdua…” Zah menimpali

Mereka bertiga tertawa dan beberapa ekspresi telah terbadikan. Foto bersama yang unik. Dengan jas hujan, wajah yang telah lelah karena seharian berkutat dengan banyak cerita dan kegiatan, dan hujan malam itu baru reda setelah satu jam kemudian mereka tiba di rumah masing-masing.

Keesokan harinya, Zah telah segar kembali setelah semalam tidur sangat nyenyak. Kembali bersiap untuk bekerja, dan bisa pulang tepat waktu karena deadline sudah diselesaikan semalam. Hari yang cerah, sebab matahari muncul tanpa malu-malu. Jalan-jalan masih basah karena sisa hujan semalam. Zah pun melajukan motornya menuju tempat kerja dengan kecepatan sedang. Dengan perasaan yang masih baik-baik saja, ia menyambut hari dengan penuh kehangatan dan keceriaan. Setibanya di tempat kerja, ia menyapa semua orang yang sudah lebih dulu tiba. Meja di depannya masih kosong. Tas nya juga belum terlihat. Sepertinya ia akan telat. Begitulah gumamnya dalam hati.

Jam 9 pagi, dan seseorang yang ditungguinnya walaupun ia berseru tidak menunggu akhirnya muncul juga. Zah mengatur mikik wajah, berusaha untuk tetap terlihat tidak mencolok atau mengatur irama detak jantungnya agar tidak sampai terdengar. Zah tertawa sendiri akan kekonyolan itu.

“Hai, Rian. Telat ya?” yang dijawab dengan anggukan ya.

“Apa tuh? Undangan?....” deg…. Suara Zah menggantung... Rian menaruh tasnya terlebih dahulu dan tersenyum kepada Zah.

“Betul, Zah. Doakan ya semoga lancar-lancar acaranya…”

Waktu terasa berhenti berputar dalam seperkian detik. Sekitarnya seperti tidak berpenghuni, kecuali seorang diri. Hingga, selembar kertas yang terbungkus dalam plastik itu menyentuh tangannya, dan ia kembali pada kenyataan bahwa selama ini benar adanya, hanya ia seorang yang mengartikan lebih atas semua kebaikan dan perhatian yang ada. Ia tertawa, menertawakan diri sendiri atas kegeerannya. Ia tertawa, atas kemudahannya untuk sayang kepada orang lain secara berlebih-lebihan. Ia tertawa, atas semua hal yang ia pikirkan.

“Ku ikutan senang. Selamat ya, Rian. Udah mau nikah aja nih. Semoga dilancarkan semua persiapannya.”

“Amin. Terimakasih ya, Zah. Mohon doanya. Semoga kamu segera menyusul.”

“Amin…..”

Hatinya mendadak mendung. Seluruh badan serasa tak bertulang. Dalam beberapa saat ia kacau. Berdiam diri. Matanya tidak lepas dari sebuah undangan yang berada di hadapannya. Sebuah nama yang selama ini menjelma jadi puisi-puisinya. Menjelma berkalimat-kalimat cerita. Sadarnya masih belum kembali. Hingga beberapa hari kemudian, saat mendekati hari H bahagianya Rian, Zah akhirnya bisa memahami semua kejadian yang sedang ia hadapi. Ia sadar akan kelemahannya yang mudah untuk jatuh cinta, dan sejak saat itu, ia kembali jatuh pada lubang yang sama walaupun sudah mewanti diri untuk tidak terjerumus lagi.

Dalam hal jatuh cinta, Zah memang selalu totalitas akan perasaanya. Ia selalu memberikan ruangan untuk perasaan itu berkembang. Pertama-tama karena ia memang kesulitan mengendalikan perasaannya, karena kesulitan itu lah yang membuatnya berakhir dengan menulis. Karena dengan menulis, kesemrawutan di hati, di pikiran mampu teratasi, meninggalkan kelegaan, dan semakin lama, itu menjadi satu kelebihannya untuk pandai ikut serta berempati merasakan perasaan orang lain walaupun tidak valid 100%. Kedua, ia menerima dan membiarkan perasaan itu ada untuk mengasah kepekaan dirinya, berharap tulisan-tulisannya bisa bernyawa.

Zah yang kembali menata hatinya, bangkit setelah patah sendirian….

Ia tidak pernah menyesal dan marah yang berlebihan, karena ia paham bagaimana dirinya sendiri. Ia memutuskan menjadikan kelemahannya tersebut sebagai kelebihan. Setidaknya untuk dirinya sendiri, untuk orang lain dan sekitar hanyalah bonus dari proses perjalanannya untuk lebih dekat dan bersahabat dengan diri sendiri dan juga Tuhan.

Zah yang ramah…..

Keesokan lusanya, hari H itu telah tiba, ia pun totalitas mempersiapkan dirinya. Bahkan, rela melakukan hal konyol demi ke acara perniakahan seorang yang pernah ia sukai…..

 

Komentar

  1. lama gak baca novel yang bisa ikut hanyut pas baca..
    sukaaa :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadiii ini secara langsung cerita bersambungku bikin hanyut mbakk nih?? Aku terhanyuttt baca komen mbak sambil senyum2...❤❤

      Hapus
  2. huah, masyaAllah. keren sekaliiiii. you're improved a lot! keep on going!

    BalasHapus
  3. Gak nyangka cenu bikin novel. Apakah ini kisah nyatamu? Wkwkwkwk. Mas Imad mau nulis juga nih... sayangnya cerita di real life nya belum tamat

    BalasHapus

Posting Komentar