FourT: Teka-Teki Takdir Tuhan Part 1 #5CC #5CCDay16 #Cerpen #BentangPustaka #Careerclass

 

    Bagi anak perempuan, seorang ayah adalah laki-laki pertama yang membuatnya jatuh cinta atas segala yang dilakukan. Bagi anak perempuan, seorang ayah adalah pahlawan bagi dirinya dan keluarga. Dan, bagi anak perempuan seorang ayah adalah sosok terhebat yang dimiliki oleh mereka. Itulah perempuan, ia akan mencintai orang yang memiliki kemiripan sifat dengan ayahnya, laki-laki yang membesarkan dan menemaninya sejak dalam buaian ibu. Benar, bahwa hal itu mungkin tidak berlaku bagi semua perempuan, tetapi kebanyakan perempuan memiliki anggapan seperti itu tentang seorang ayah. Salah satunya adalah perempuan yang berada dalam keluarga sederhana, keluarga yang dibangun atas dasar cinta dan kelembutan, keluarga yang saling mendukung satu sama lain. Perempuan tercantik kedua setelah ibunya, karena ia adalah anak perempuan satu-satunya dari dua kakak laki-laki. Kembar.


Nuriyah Tabina. Sejak kecil sudah dipanggil dengan Nuri. Usianya 22 tahun, dan baru saja menjabat sebagai seorang jobseeker. 2 bulan bolak-balik mengirim berkas lamaran ke berbagai perusahaan industry. Takdir Tuhan, tidak ada satu pun mendapatkan kabar balasan terkait panggilan wawancara, atau tes tertulis dan semacamnya. Merasa diri payah., dan hampir menyerah. Namun, gagal sebab ia dikelilingi oleh orang-orang yang membebaskannya memilih apa sekaligus mendukung dan bantu menawarkan pekerjaan.

“Dek, inget-inget apa yang sering dibilang Bapak, kalau bersama kesulitan ada kemudahan. Usaha lagi ngirim lamaran kerjanya.”

Nuri tidak menggubris antusias. Mendengarkan, tapi masuk telinga kanan keluar di kiri. Ia menatap kosong, kedua kakaknya yang sedang menyiapkan sarapan.

“Ini muka apa bola, ya? Bunder amat.” Kak Aga menggodanya yang sedang duduk melamun di sofa.

“Malas, ah. Gak pengen becanda. Gak pengen digoda. Gak pengen dibully.” Seru Nuri lalu merebahkan diri di atas sofa.

“Adik perempuan Kak Agi sudah besar ya. Sudah pandai memprotes. Merajuk. Kesal.” Kembaran Kak Agaikut menyumbangkan suara.

“Enakkan kuliah ya. Gak pusing-pusing sampai begini amat rasanya dulu.” Ucap Nuri

“Bentar. Kayaknya Kak Agi punya info lowongan kerja deh.” Sebuah kalimat yang menggugah jiwa Nuri.

Ia segera bangun, dan berseru kencang sekali, “MAAAAUUUUU. Mana-mana infonya.”
Teriakkannya memacu sekaligus mengejutkan Kak Aga dan Agi.

“Tapi, di jasa penerbitan. Jasa penerbitan temanku. Kamu mau gak? Kemarin sih katanya butuh orang untuk mengisi bagian conten writer atau yang bakal di marketing bagian tulis-menulis gitu.” Penjelasan Kak Agi yang membuat setengah persen semangat inginnya.

“Dicoba aja dulu, Dek. Kadang, yang dibutuhkan hanya satu, kemauan mencoba, melangkah satu langkah, dan jalan deh. Kamu kan punya bakat dalam hal kepenulisan.” Sumbangan suara, pendapat dari Kak Aga kembali menaikkan persentase semangat inginnya mencoba.

 

2 minggu berlalu. 2 minggu juga waktu yang dibutuhkan Nuri dalam menyiapkan diri memasukkan lamaran pada jasa penerbitan milik teman Kakaknya. Perempuan 22 tahun yang sedari dulu punya kecakapan dalam mencurahkan segala apa yang terasa; bahagia, kejengkelan, kecewa, marah, berpendapat, bercanda, dan sebagainya menjadi berwujud dalam bentuk kalimat berparagraf-paragraf, dan serta-merta dapat dinikmati oleh orang lain. Ia, menanggalkan keinginan besarnya untuk bekerja di salah satu laboraturium perusahaan industry di Ibukota. Ia, merelakan satu impiannya, dan mencoba mengadu nasib di bidang yang tidak pernah diliriknya sama sekali. Ia, menghibur hatinya, mengajak berbincang jiwanya, menepuk-nepuk bahunya. “Sabar, mungkin jalan kamu harus ke sana dulu.” Hati kecilnya berseru.


Jika memang sudah rezeki, mau gimana pun caranya kamu berjalan menjemputnya, entah pakai pesawat, motor, sepeda, atau bahkan merangkak, gak bakal lari kemana-mana. Mungkin, definisi itu patut tersematkan pada diri Nuri. Tanpa menunggu lama seusai mengirim berkas lamaran, ia segera dipanggil wawancara. 1 minggu berselang, ia dikabarkan diterima sebagai salah satu tim bagian conten writer di jasa penerbitan.


Bekerja di kantor selama 5 hari dalam seminggu, di mulai jam 7 pagi hingga menjelang sore. Kadang, lembur. Sejauh itu, Nuri masih menikmati kesibukan yang menyedot energi, pikiran, dan jiwanya. Membuat artikel-artikel minimal 2000 kata perhari, rapat kolaborasi dengan tim pemasaran, juga sesekali bertemu dengan klien, dan lain sebagainya.

Nuri bertemu dengan Salam Perjalanan mereka tidak lika-liku, seiring berjalannya waktu mereka mulai nyaman satu sama lain termasuk dalam berkomunikasi.

Nuri juga seorang perempuan biasa, pernah khilaf, pernah salah, pernah lalai. Ia pernah berada pada jalan itu, jalan yang harus di jauhkan sebelum datang waktu yang tepat. Hubungan Nuri dan Salam bisa dikatakan pacaran. Perempuan yang sedang menginjak usia remaja, usia yang rawan untuk menjalin sebuah hubungan bernamakan pacaran bagi sebagian besar perempuan lain saat mengenal lawan jenisnya. Itu setahun yang lalu, sebelum mengenal desy, dan perempuan sholehah lainnya.

“Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu? Tanya Desy. “kamu pacaran dengannya ?” Nuri masih tidak menjawab. “Akhiri hubungan itu Nuri, jangan dilanjutkan” katanya lagi. Nuri masih terdiam, menunduk. Ia tak berani menatap wajah sahabatnya itu, yang baru ia kenal beberapa bulan lalu. Desy menatapnya, lalu memegang kedua bahu Nuri.

“Apa aku bisa?” kata Nuri lirih, lalu menunduk lagi. Desy mencengkram kuat lengannya, terlihat dia sedang menahan butiran yang akan jatuh. Dia menarik napas, lalu menghempaskannya. Pelan-pelan dia meminta Nuri untuk menatapnya.

“Kamu bukan perempuan lemah, kamu kuat, itu yang ku kenal selama ini” diam sejenak, “kamu pasti bisa melakukannya, sekarang yang harus kamu lakukan adalah memutuskan hubungan kalian” diam lagi, hanya isak tersedu-sedu yang menyatu dengan suara detak jam di ruangan itu. Desy tamPak mengatur nafasnya lagi, dan butiran itu akhirnya jatuh.

“Allah tidak menyukai jalan yang sedang kamu tempuh, aku ingin kamu jauh dari jalan kejam itu, kamu harus akhiri hubungan mu” katanya tegas. Desy merengkuh tubuh lemah sahabatnya.

 

    Bagi Nuri, perempuan yang dibesarkan dengan lemah lembut, dan penuh cinta keputusan ini adalah sulit baginya. Ia harus memutuskannya, lelaki yang telah ia kenal lama. Setelah beberapa minggu percakapan itu, Nuri sangat mengontrol komunikasinya, ia membalas pesan secukupnya, dan tidak menerima panggilan dari Kak Salam. APakah Nuri sudah putus dengannya? Belum. Ia masih menjaga intensitas pertemuan dan komunikasinya saja.


    Dua minggu berlalu, setelah percakapan dengan Desy itu, ia benar-benar memikirkan apa yang telah dinasehatkan sahabatnya. Ia mulai sibuk mencari buku-buku, artikel dan banyak berdiskusi dengan orang lain. Banyak hal yang ia tanyakan termasuk hukum pacaran.  

“Tuhan, jika memang ini adalah jalan yang Kau tunjukkan, maka kokohkan hati ini, kuat kan diri ini, mampukan jiwaku menerima semuanya. Engkau yang lebih tahu mana yang terbaik”. Lirih Nuri dalam hati.

    Sore itu, ketika Nuri bertemu Kak Salam di depan perpustakaan pusat kampus. Bagi Kak Salam ini adalah kesempatannya untuk bertanya kepada Nuri, apa yang sedang terjadi dengannya, kenapa akhir-akhir ini hubungannya seperti ada jarak. Laki-laki itu telah tiba. Ia melihat Nuri sedang duduk, ditempat biasa mereka saling melepas kepenakan selama berhari-hari dengan tugas masing-masing. Nuri menatap kosong gedung-gedung tinggi di depannya, ia tidak sadar bahwa Kak Salam telah duduk di sampingnya 5 menit lalu. Kak Salam ikut menatap juga.

“Kak Salam dari tadi? Kok gak bilang.” Protesnya. Kak Salam hanya menanggapi dengan senyuman. Nuri menunduk, sedikit lama. Kak Salam mencoba bertanya apa yang terjadi kepadanya. Tidak ada jawaban. Laki-laki itu tak mengerti, ia mencoba memanggil Nuri, menanyakan apa yang salah. Apa yang terjadi. Ia heran.

 “Kita harus hidup masing-masing Kak, Maaf” Nuri bersuara. Kak Salam mempertanyakan ulang, ia takut salah dengar. Nuri menatap wajah lelaki itu, lalu mengulangnya. Angin sore menjadi saksi percakapan dua insan. Angin sore membawa buih-buih percakapan mereka, seperti menggema, lantas perlahan menghilang ditelan oleh kebisingan kendaraan yang sedari tadi berlalu-lalang. Kak Salam menggeleng tidak setuju dengan kalimat Nuri. Ia tidak menerima begitu saja, Baginya hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan hingga harus diakhiri. “aku tidak salah dengar kan? Coba kamu tenang, dan jelaskan pelan-pelan” laki-laki itu mencoba untuk tenang. Nuri terlihat mengatur napasnya. Ia mulai menyampaikan niat nya untuk menyudahi hubungan ini, dan menjelaskan alasan-alasanya juga. Berat baginya, tapi ia harus tetap mengambil keputusan ini. Kak Salam tidak setuju awalnya, Laki-laki itu terus bertanya alasan Nuri. Satu jam berlalu, percakapan itu belum menemui titik simpul. Kak Salam mencoba untuk meminta Nuri untuk mempertimbangkan lagi.         

    Nuri menggeleng, iya sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Konsekuensi dari pilihan yang diambil pun sudah dipikirkan. Nuri kokoh dengan pilihannya, laki-laki itu tidak mampu memasukkan pendapatnya atas pilihan Nuri. Waktu terus berlalu, matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu di ufuk barat. Kak Salam menatap kosong, Laki-laki itu masih belum bisa menerima keputusan Nuri. Baginya, inilah Perempuan terakhir yang akan dikenalkan kepada kelurganya kelak, saat hari bahagia itu datang, upacara kelulusannya kurang lebih setahun lagi. Itu hanyalah sebuah rencana manusia, yang menentukan tetap Tuhan. Maha Pembuat Skenario Terbaik di Langit dan Bumi. Pupus sudah harapan itu bagi laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja lengan panjang, berwarna biru. Lalu celana kain hitam lengkap dengan sepatu pantofel. Selalu terlihat rapi.

“Maafkan aku, Kak. Jika memang kita adalah pelengkap satu sama lain maka tidak ada yang bisa menghalanginya terjadi. Doakan saja yang terbaik untuk kita. Aku harap Kak Salam bisa mengerti semua ini, melebihi aku. Aku pamit duluan.” Nuri menatapnya, mendengarkan jawabannya. Laki-laki itu mengangguk, meng-iyakan keputusan Nuri. “iya, aku tidak akan pernah lupa mendoakan yang terbaik untuk mu, untuk kita. Kamu boleh pergi duluan, aku masih ingin duduk di sini dulu” Terlihat kuat padahal rapuh. Nuri meninggalkan laki-laki itu, Ia tak kuasa menahan tangisnya. Langkah nya dipercepat, dan beberapa meter dari tempat duduk Kak Salam ada Desy yang sudah menunggu Nuri. Nuri jatuh dalam pelukan Desy. Dan senjata terakhir perempuan adalah air mata ketika mulut tak berdaya untuk menjelaskan perasaannya. Laki-laki itu menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telaPak tangan. Sebutir air itu akhirnya jatuh. Perpisahan ini adalah pertama kali bagi keduanya, akankah ini benar-benar menjadi akhir dari keduanya?.

 

Komentar