Bagi anak perempuan, seorang ayah adalah laki-laki pertama
yang membuatnya jatuh cinta atas segala yang dilakukan. Bagi anak perempuan,
seorang ayah adalah pahlawan bagi dirinya dan keluarga. Dan, bagi anak perempuan
seorang ayah adalah sosok terhebat yang dimiliki oleh mereka. Itulah perempuan,
ia akan mencintai orang yang memiliki kemiripan sifat dengan ayahnya, laki-laki
yang membesarkan dan menemaninya sejak dalam buaian ibu. Benar, bahwa hal itu
mungkin tidak berlaku bagi semua perempuan, tetapi kebanyakan perempuan
memiliki anggapan seperti itu tentang seorang ayah. Salah satunya adalah
perempuan yang berada dalam keluarga sederhana, keluarga yang dibangun atas
dasar cinta dan kelembutan, keluarga yang saling mendukung satu sama lain.
Perempuan tercantik kedua setelah ibunya, karena ia adalah anak perempuan
satu-satunya dari dua kakak laki-laki. Kembar.
Nuriyah Tabina. Sejak kecil sudah dipanggil
dengan Nuri. Usianya 22 tahun, dan baru saja menjabat sebagai seorang jobseeker. 2 bulan bolak-balik mengirim
berkas lamaran ke berbagai perusahaan industry. Takdir Tuhan, tidak ada satu
pun mendapatkan kabar balasan terkait panggilan wawancara, atau tes tertulis
dan semacamnya. Merasa diri payah., dan hampir menyerah. Namun, gagal sebab ia
dikelilingi oleh orang-orang yang membebaskannya memilih apa sekaligus
mendukung dan bantu menawarkan pekerjaan.
“Dek, inget-inget apa yang sering dibilang Bapak, kalau
bersama kesulitan ada kemudahan. Usaha lagi ngirim lamaran kerjanya.”
Nuri tidak menggubris antusias. Mendengarkan, tapi masuk
telinga kanan keluar di kiri. Ia menatap kosong, kedua kakaknya yang sedang
menyiapkan sarapan.
“Ini muka apa bola, ya? Bunder amat.” Kak Aga menggodanya
yang sedang duduk melamun di sofa.
“Malas, ah. Gak pengen becanda. Gak pengen digoda. Gak
pengen dibully.” Seru Nuri lalu merebahkan diri di atas sofa.
“Adik perempuan Kak Agi sudah besar ya. Sudah pandai
memprotes. Merajuk. Kesal.” Kembaran Kak Agaikut menyumbangkan suara.
“Enakkan kuliah ya. Gak pusing-pusing sampai begini amat
rasanya dulu.” Ucap Nuri
“Bentar. Kayaknya Kak Agi punya info lowongan kerja deh.”
Sebuah kalimat yang menggugah jiwa Nuri.
Ia segera bangun, dan berseru kencang sekali, “MAAAAUUUUU.
Mana-mana infonya.”
Teriakkannya memacu sekaligus mengejutkan Kak Aga dan Agi.
“Tapi, di jasa penerbitan. Jasa penerbitan temanku. Kamu
mau gak? Kemarin sih katanya butuh
orang untuk mengisi bagian conten writer
atau yang bakal di marketing bagian tulis-menulis gitu.” Penjelasan Kak Agi
yang membuat setengah persen semangat inginnya.
“Dicoba aja dulu, Dek. Kadang, yang dibutuhkan hanya satu,
kemauan mencoba, melangkah satu langkah, dan jalan deh. Kamu kan punya bakat dalam hal kepenulisan.” Sumbangan suara,
pendapat dari Kak Aga kembali menaikkan persentase semangat inginnya mencoba.
2 minggu berlalu. 2 minggu juga waktu yang
dibutuhkan Nuri dalam menyiapkan diri memasukkan lamaran pada jasa penerbitan
milik teman Kakaknya. Perempuan 22 tahun yang sedari dulu punya kecakapan dalam
mencurahkan segala apa yang terasa; bahagia, kejengkelan, kecewa, marah,
berpendapat, bercanda, dan sebagainya menjadi berwujud dalam bentuk kalimat
berparagraf-paragraf, dan serta-merta dapat dinikmati oleh orang lain. Ia,
menanggalkan keinginan besarnya untuk bekerja di salah satu laboraturium
perusahaan industry di Ibukota. Ia, merelakan satu impiannya, dan mencoba
mengadu nasib di bidang yang tidak pernah diliriknya sama sekali. Ia, menghibur
hatinya, mengajak berbincang jiwanya, menepuk-nepuk bahunya. “Sabar, mungkin jalan kamu harus ke sana
dulu.” Hati kecilnya berseru.
Jika memang sudah rezeki, mau gimana pun caranya
kamu berjalan menjemputnya, entah pakai pesawat, motor, sepeda, atau bahkan
merangkak, gak bakal lari kemana-mana. Mungkin, definisi itu patut tersematkan
pada diri Nuri. Tanpa menunggu lama seusai mengirim berkas lamaran, ia segera
dipanggil wawancara. 1 minggu berselang, ia dikabarkan diterima sebagai salah
satu tim bagian conten writer di jasa
penerbitan.
Bekerja di kantor selama 5 hari dalam seminggu,
di mulai jam 7 pagi hingga menjelang sore. Kadang, lembur. Sejauh itu, Nuri
masih menikmati kesibukan yang menyedot energi, pikiran, dan jiwanya. Membuat
artikel-artikel minimal 2000 kata perhari, rapat kolaborasi dengan tim
pemasaran, juga sesekali bertemu dengan klien, dan lain sebagainya.
Nuri bertemu dengan Salam Perjalanan mereka tidak lika-liku, seiring berjalannya waktu mereka mulai nyaman
satu sama lain termasuk dalam berkomunikasi.
Nuri juga seorang perempuan biasa, pernah
khilaf, pernah salah, pernah lalai. Ia pernah berada pada jalan itu, jalan yang
harus di jauhkan sebelum datang waktu yang tepat. Hubungan Nuri dan Salam bisa
dikatakan pacaran. Perempuan yang
sedang menginjak usia remaja, usia yang rawan untuk menjalin sebuah hubungan
bernamakan pacaran bagi sebagian
besar perempuan lain saat mengenal lawan jenisnya. Itu setahun yang lalu, sebelum
mengenal desy, dan perempuan sholehah lainnya.
“Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu? Tanya Desy. “kamu
pacaran dengannya ?” Nuri masih tidak
menjawab. “Akhiri hubungan itu Nuri, jangan dilanjutkan” katanya lagi. Nuri
masih terdiam, menunduk. Ia tak berani menatap wajah sahabatnya itu, yang baru
ia kenal beberapa bulan lalu. Desy menatapnya, lalu memegang kedua bahu Nuri.
“Apa aku bisa?” kata Nuri lirih, lalu menunduk lagi. Desy
mencengkram kuat lengannya, terlihat dia sedang menahan butiran yang akan
jatuh. Dia menarik napas, lalu menghempaskannya. Pelan-pelan dia meminta Nuri untuk menatapnya.
“Kamu bukan perempuan lemah, kamu kuat, itu yang ku kenal
selama ini” diam sejenak, “kamu pasti bisa melakukannya, sekarang yang harus
kamu lakukan adalah memutuskan hubungan kalian” diam lagi, hanya isak
tersedu-sedu yang menyatu dengan suara detak jam di ruangan itu. Desy tamPak
mengatur nafasnya lagi, dan butiran itu akhirnya jatuh.
“Allah tidak menyukai jalan yang sedang kamu tempuh, aku
ingin kamu jauh dari jalan kejam itu, kamu harus akhiri hubungan mu” katanya
tegas. Desy merengkuh tubuh lemah sahabatnya.
Bagi Nuri, perempuan yang dibesarkan dengan lemah lembut, dan penuh cinta keputusan ini adalah sulit baginya. Ia harus memutuskannya, lelaki yang telah ia kenal lama. Setelah beberapa minggu percakapan itu, Nuri sangat mengontrol komunikasinya, ia membalas pesan secukupnya, dan tidak menerima panggilan dari Kak Salam. APakah Nuri sudah putus dengannya? Belum. Ia masih menjaga intensitas pertemuan dan komunikasinya saja.
Dua minggu berlalu, setelah percakapan dengan Desy itu, ia
benar-benar memikirkan apa yang telah dinasehatkan sahabatnya. Ia mulai sibuk
mencari buku-buku, artikel dan banyak berdiskusi dengan orang lain. Banyak hal
yang ia tanyakan termasuk hukum pacaran.
“Tuhan, jika memang ini adalah
jalan yang Kau tunjukkan, maka kokohkan hati ini, kuat kan diri ini, mampukan
jiwaku menerima semuanya. Engkau yang lebih tahu mana yang terbaik”. Lirih Nuri dalam hati.
Sore itu, ketika Nuri bertemu Kak Salam di depan
perpustakaan pusat kampus. Bagi Kak Salam ini adalah kesempatannya untuk
bertanya kepada Nuri, apa yang sedang terjadi dengannya, kenapa akhir-akhir ini
hubungannya seperti ada jarak. Laki-laki itu telah tiba. Ia melihat Nuri sedang
duduk, ditempat biasa mereka saling melepas kepenakan selama berhari-hari
dengan tugas masing-masing. Nuri menatap kosong gedung-gedung tinggi di depannya,
ia tidak sadar bahwa Kak Salam telah duduk di sampingnya 5 menit lalu. Kak Salam
ikut menatap juga.
“Kak Salam dari tadi? Kok gak bilang.” Protesnya. Kak Salam
hanya menanggapi dengan senyuman. Nuri menunduk, sedikit lama. Kak Salam
mencoba bertanya apa yang terjadi kepadanya. Tidak ada jawaban. Laki-laki itu
tak mengerti, ia mencoba memanggil Nuri, menanyakan apa yang salah. Apa yang
terjadi. Ia heran.
“Kita harus hidup masing-masing Kak, Maaf” Nuri bersuara. Kak Salam mempertanyakan ulang, ia takut salah dengar. Nuri menatap wajah lelaki itu, lalu mengulangnya. Angin sore menjadi saksi percakapan dua insan. Angin sore membawa buih-buih percakapan mereka, seperti menggema, lantas perlahan menghilang ditelan oleh kebisingan kendaraan yang sedari tadi berlalu-lalang. Kak Salam menggeleng tidak setuju dengan kalimat Nuri. Ia tidak menerima begitu saja, Baginya hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan hingga harus diakhiri. “aku tidak salah dengar kan? Coba kamu tenang, dan jelaskan pelan-pelan” laki-laki itu mencoba untuk tenang. Nuri terlihat mengatur napasnya. Ia mulai menyampaikan niat nya untuk menyudahi hubungan ini, dan menjelaskan alasan-alasanya juga. Berat baginya, tapi ia harus tetap mengambil keputusan ini. Kak Salam tidak setuju awalnya, Laki-laki itu terus bertanya alasan Nuri. Satu jam berlalu, percakapan itu belum menemui titik simpul. Kak Salam mencoba untuk meminta Nuri untuk mempertimbangkan lagi.
Nuri menggeleng, iya sudah memikirkannya jauh-jauh hari.
Konsekuensi dari pilihan yang diambil pun sudah dipikirkan. Nuri kokoh dengan
pilihannya, laki-laki itu tidak mampu memasukkan pendapatnya atas pilihan Nuri.
Waktu terus berlalu, matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu di ufuk
barat. Kak Salam menatap kosong, Laki-laki itu masih belum bisa menerima
keputusan Nuri. Baginya, inilah Perempuan terakhir yang akan dikenalkan kepada
kelurganya kelak, saat hari bahagia itu datang, upacara kelulusannya kurang
lebih setahun lagi. Itu hanyalah sebuah rencana manusia, yang menentukan tetap
Tuhan. Maha Pembuat Skenario Terbaik di Langit dan Bumi. Pupus sudah harapan
itu bagi laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja lengan panjang, berwarna
biru. Lalu celana kain hitam lengkap dengan sepatu pantofel. Selalu terlihat rapi.
“Maafkan aku, Kak. Jika memang kita adalah pelengkap satu
sama lain maka tidak ada yang bisa menghalanginya terjadi. Doakan saja yang
terbaik untuk kita. Aku harap Kak Salam bisa mengerti semua ini, melebihi aku.
Aku pamit duluan.” Nuri menatapnya, mendengarkan jawabannya. Laki-laki itu
mengangguk, meng-iyakan keputusan
Nuri. “iya, aku tidak akan pernah lupa mendoakan yang terbaik untuk mu, untuk
kita. Kamu boleh pergi duluan, aku masih ingin duduk di sini dulu” Terlihat
kuat padahal rapuh. Nuri meninggalkan laki-laki itu, Ia tak kuasa menahan
tangisnya. Langkah nya dipercepat, dan beberapa meter dari tempat duduk Kak Salam
ada Desy yang sudah menunggu Nuri. Nuri jatuh dalam pelukan Desy. Dan senjata
terakhir perempuan adalah air mata ketika mulut tak berdaya untuk menjelaskan
perasaannya. Laki-laki itu menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telaPak
tangan. Sebutir air itu akhirnya jatuh. Perpisahan ini adalah pertama kali bagi
keduanya, akankah ini benar-benar menjadi akhir dari keduanya?.
Komentar
Posting Komentar