FourT: Teka-Teki Takdir Tuhan. Part 2 #5CC #5CCDay17 #Cerpen #Careerclass # Bentangpustaka

 

Selamat pagi bulan desember, selamat pagi bulan kelahiran, dan selamat pagi bulan hujan penuh kenangan. Dua minggu berlalu dan selama itu Nuri melakukan pekerjaannya dengan bermalas-malasan. Kuliah kurang fokus, tugas-tugas terbengkalai, sudah ijin kajian rutin sebanyak dua kali. Nuri benar-benar kalah dari perasaanya itu, kalah karena tidak bisa menolak segala kemalasan yang ada, kalah karena gagal move on dari kebiasaanya yang lama, ketika ia masih rutin berkomunikasi dengan Kak Salam.

Tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada pula perempuan yang sempurna. Ketika jatuh cinta, itu hal yang fitrah, cinta yang datang adalah anugerah dari Nya. Mengondisikan cinta ke arah yang baik adalah hal yang sulit. Tiga minggu berlalu, suasana hatinya terus membaik. Desy sebagai sahabatnya ikutan senang.

Nuri dan Desy menaiki anak tangga, mereka masuk ke dalam sebuah ruangan. Setelah mengetuk dua-tiga kali pintu itu dibuka. Tercium aroma khas teh yang baru diseduh. Ruangan ini cukup luas yaitu bisa menampung satu lemari besar tanpa kaca penuh dengan buku, serta meja kerja. Mereka berada di salah satu ruangan dosen, namanya Pak Rofik. Sebulan yang lalu, mereka merencanakan sebuah project yaitu melakukan bimbingan kepada anak-anak panti asuhan di daerah pinggir kota. Mereka tidak bekerja sendirian, tetapi bekerja sama dengan relawan-relawan lain, Nuri dan Desy adalah relawan baru yang direkrut oleh Pak Rofik.

“Berkas-berkas untuk keperluan minggu depan sudah siap untuk ditandatangan, Pak.” Nuri menyimpan berkas-berkas itu di atas meja Pak Rofik, dan langsung ditandatangan.

“Oke, Terimakasih. Adalagi yang belum dipersiapkan untuk minggu depan?” Tanya beliau.

“Alhamdulillah semuanya sudah beres Pak” jawab Desy. Mereka lalu berpamitan meninggalkan ruangan. Sebelum pintu itu ditutup, Pak Rofik memanggil mereka kembali. Di depan pintu, Pak Rofik berpesan untuk nanti sore ke sekretariat “Bintang Bumi Pertiwi”.

Sore itu tiba, Nuri lebih dulu sampai dibandingkan Desy dan teman-teman relawan lainnya. 10 menit menunggu diskusi itu dimulai, dan yang memimpin adalah Pak Rofik sendiri sebagai pendiri dari sebuah komunitas ini. Diskusi berjalan lancar, walaupun di tengah-tengah terdapat beberapa orang yang berbeda pendapat tapi akhirnya bisa terselesaikan. Sebagai moderator pada diskusi kali ini, Nuri membacakan ulang hasilnya. Minggu depan mereka akan turun. Melakukan tugas mulia, membantu anak-anak di panti untuk mendapatkan haknya, yaitu pendidikan.

Langkah awal Nuri untuk move on dengan menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan. Nuri selalu percaya dengan takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya. ia yakin akan rencana terbaik yang telah disiapkan Tuhan. Hal itu terjadi ketika ia memilih mengakhiri hubungannya dengan Kak Salam. Nuri, perempuan sederhana yang selalu menghabiskan waktu sore nya di depan laptop. Ia selalu suka menuliskan kejadian yang telah dilakukan, perempuan yang akhir-akhir ini suka memakai sesuatu berwarna biru.

“Kamu, gadis berkerudung biru sedang apa?” itu Desy, sahabatnya yang dari kemarin memperhatikan Nuri, terutama pada penampilan.

“Kamu dari kemarin mimpi apa sih? kok Pakaianya biru trus” Desy menggeleng heran, lalu duduk di sampingnya.

“Aku mimpi didatangi sama penyanyi terkenal. Katanya kamu cocok Pakai jilbab biru, bukan merah” Desy yang mendengarkan itu merasa heran, dan beberapa saat kemudian dia tertawa.

“Ngacok kamu. Mana mau penyanyi itu datang ke mimpi mu. Adanya tuh gadis berkerudung merah, bukan biru. Ada-ada saja.” Mereka saling tertawa, bahagia sekali. Di bawah atap gazebo, di tengah keramaian anak-anak lain, dan di antara angin berhembus. Tuhan tidak pernah membuat anak manusia terus berada di masa ujian. Dia akan memberikan waktu yang tepat kapan harus bahagia, sedih, marah, terluka, kecewa, jatuh, menangis. Karena semua itu adalah anugerah Tuhan, yang dititipkan kepada masing-masing kita untuk dirasa.

Nuri percaya takdir, begitu pula Desy. Mereka berdua percaya bahwa suatu saat akan dipertemukan dengan pangeran masing-masing. Pangeran yang menjadi rahasia di setengah kehidupannya, pangeran yang akan menjadi jawaban dari teka-teki hidupnya.

Pada sabtu pagi di minggu kedua bulan desember, semua relawan berangkat ke salah satu panti asuhan yang terletak di pinggir kota sebagai tujuan, mereka akan melakukan beberapa hal di sana. Belajar, bermain dan berbagai agenda lainnya. Pak Rofik, Nuri dan relawan lain berangkat dengan menggunaka satu bus. Perjalanannya hanya sebentar saja, tidak sampai berjam-jam.

“Perkenalkan nama saya Farhan, saya di sini sebagai wakil ketua dari pengurus panti asuhan Purnama. Mereka tiba setelah satu jam perjalanan, dan disambut hangat oleh pengurus-pengurus panti. Setelah berdiskusi sebentar, Nuri, Desy dan relawan lain mulai melakukan tugas masing-masing. Ada yang belajar IPA, belajar seni termasuk menggambar, melukis, menyanyi, ada juga yang belajar mengaji serta ada yang memilih untuk bermain saja. Hari itu adalah hari bebas anak-anak untuk berekspresi, melakukan hal-hal yang disukai agar suatu saat akan menjadi Purnama di bumi Pertiwi ini.

“Dek Nuri sudah lama bergabung di komunitas ini?” suara itu mengagetkan Nuri yang sedang duduk melihat anak-anak bermain dengan relawan yang lain.

“Tidak Kak, saya bergabung baru sebulan terakhir ini.” Jawabnya singkat lalu menatap anak-anak yang tengah asyik bermain.

“Bagus ya, jadi gak sibuk di dunia perkuliahan saja, tapi sibuk di dunia luar juga. Ikut-ikut komunitas gini seru sekali” lanjut Kak Farhan

“Untuk mengisi waktu Kak, biar gak cuman main-main saja setelah kuliah.” dan alasan lainnya adalah agar lebih mudah move on. Sebatas suara hatinya. Tidak ada percakapan lagi, masing-masing diam. Memandangi anak-anak yang bermain.

“Pak Rofik itu luar biasa, hatinya mulia sekali. saya selalu kagum melihat beliau” Kak Farhan berseru lagi setelah lama terdiam.

“Nuri juga sangat kagum terhadap beliau. Hati beliau benar-benar mulia, terlihat tulus sekali melakukan sesuatu” tambah Nuri. Percakapan itu tidak berlanjut, ketika Nuri harus menyelesaikan tugasnya, menggantikan relawan lain untuk menemani anak-anak menulis. Tidak ada komunikasi lagi antar Nuri dan Kak Salam, benar-benar hilang kontak. Itu akan mampu menjaga perasaan keduanya.

Mereka sampai ke tempat tinggal masing-masing pukul 7 malam.

Nuri selalu percaya takdir-Nya, dan selalu percaya akan rencana yang telah dituliskan untuknya. Seberapapun sakitnya saat itu, seberat apapun ujian yang diterimanya, ia selalu memegang keyakinan bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya. Tidak akan memberi kesulitan saja, tapi pasti di sertai kemudahan. Nuri selalu percaya Takdir Tuhan.

Detik berlalu menjadi menit, berlalu menjadi jam, dua jam, tiga jam, berlalu lagi hingga berganti hari, lalu minggu satu ke minggu berikutnya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi siang ini, tentang apa, dimana, kemana, dan siapa yang ditemui termasuk Nuri.

Nuri menaiki anak tangga, dan langkahnya terhenti saat berpapasan dengan seseorang yang turun pada tangga yang sama. Sosok yang ia kenal. “Kak Farhan?” panggilnya. Laki-laki itu menengok, lalu tersenyum.

“Dari ruangan Pak Rofik? Ada acara apa Kak?” tanya nya sedikit ingin tahu.

“Iya dek, tidak ada acara. Tadi cuman bahas beberapa hal dengan Pak Rofik. Dek Nuri mau keruangan Pak Rofik juga kah?” tanyanya balik.

Nuri mengangguk “ya sudah Kak, Nuri pamit dulu. Oh iya, Salam buat adik-adik dipanti Kak”

“Oke, insya Allah. Kalau begitu saya juga pamit ya.” Nuri mengangguk Itu pertemuan kedua mereka, dan pertemuan berikut-berikutnya tidak pernah terlintas di pikiran Nuri.

“Assalamualaykum.” Nuri dan Desy sampai di panti setelah satu jam lebih perjalanan karena macet. Pintu itu dibuka oleh seorang ibu, secara sekilas usianya sekitar 50-an keatas.

“WaalaykumSalam. Cari siapa, Nak?” perempuan paruh baya itu mempersilahkan mereka masuk.

“Mau ketemu ketua panti bu, Pak Ahmad. APakah beliau ada?” ibu itu meninggalkan Nuri dan Desy. Beberapa menit kemudian keluar seseorang yang sudah tak asing lagi dari balik tirai pintu.

“Kalian sudah lama? Maaf telah menunggu lama.” Farhan lalu duduk di kursi. “Oh tidak Kak, kami kesini tidak bisa lama-lama. Kami bawakan berkas kegiatan kemarin dari Pak Rofik. Beliau gak bisa ke sini karena ada kelas tambahan” setelah selesai urusan, Nuri dan Desy pulang.

“Uhuk..uhukk. ada yang sudah akrab banget nih sama seseorang” goda Desy kepada Nuri di atas kendaraan. Nuri tidak menanggapinya, ia serius menyetir.

Itu pertemuan ketiga mereka, dan pertemuan berikut-berikutnya tidak pernah terlintas dipikiran Nuri.

Bagi Nuri sejauh ini perkembangan perasaannya sudah jauh lebih baik. Ia sudah tidak gugup lagi ketika berpapasan atau bertemu Kak Salam. Ia sebisa mungkin untuk terlihat biasa dan terus melawan perasaan aneh yang muncul. Pada suatu pagi, Nuri berkunjung keruangan Pak Rofik, untuk memberi kabar tentang kemarin.

“Terimakasih banyak Nuri sudah membantu saya kemarin” kata beliau sambil mempersilahkan Nuri duduk.

“Sama-sama Pak. Nuri siap membantu kalau dibutuhkan lagi Pak” diam sejenak. Tatapan Pak Rofik terlihat serius, dan sepertinya ada hal yang ingin di sampaikan. Nuri menunggu, tanpa berani bertanya.

“Nuri, saya harus menyampaikan pesan mulia ini kepada kamu secara langsung. Ini menjadi beban bagi saya jika terus menyimpannya” kata beliau.

“Iya Pak. Kalau boleh saya tahu pesan apakah itu dan dari siapa?” Nuri memainkan pulpen yang dipegangnya, ia terlihat gugup dan khawatir sekali karena Pak Rofik jarang se-serius ini.

“Begini, kemari siang Farhan berkunjung keruangan saya. Ia sempat bertanya-tanya tentang kamu. Saya menjawab setahunya. Ia ingin serius dengan kamu, ini pesan darinya yang harus saya sampaikan” Nuri kaget sekaligus gugup dengan pernyataan barusan. Ia hanya terdiam, tidak terlalu lama. Ia tidak menjawab apa-apa. Gugup, iya Nuri sangat gugup.

“Jawabanya tidak harus sekarang Nuri. Kamu bisa memikirkannya lagi. Saya hanya menyampaikan pesan mulia dek Farhan” Nuri lalu berpamitan kepada Pak Rofik. iya merasa bahwa tadi adalah mimpi, dan terus mencubit tangannya. Aaaarghhh. Lirih kesakitannya.

Nuri sadar bahwa ini nyata, bukan mimpi semata. Nuri terjatuh, ia menunduk dalam-dalam. Tangis itu pecah, ia nyalakan air kran. full. Hingga suara tangisnya kalah dari suara air kran.

“Tuhan, apa yang harus kujawab, apa yang harus kupilih, aku selalu percaya takdir yang telah Kau gariskan” lirih hatinya Nuri.

Komentar