Selamat pagi bulan
desember, selamat pagi bulan kelahiran, dan selamat pagi bulan hujan penuh kenangan.
Dua minggu berlalu dan selama itu Nuri melakukan pekerjaannya dengan bermalas-malasan.
Kuliah kurang fokus, tugas-tugas terbengkalai, sudah ijin kajian rutin sebanyak
dua kali. Nuri benar-benar kalah dari perasaanya itu, kalah karena tidak bisa
menolak segala kemalasan yang ada, kalah karena gagal move on dari kebiasaanya
yang lama, ketika ia masih rutin berkomunikasi dengan Kak Salam.
Tidak ada manusia yang
sempurna, dan tidak ada pula perempuan yang sempurna. Ketika jatuh cinta, itu
hal yang fitrah, cinta yang datang adalah anugerah dari Nya. Mengondisikan
cinta ke arah yang baik adalah hal yang sulit. Tiga minggu berlalu, suasana
hatinya terus membaik. Desy sebagai sahabatnya ikutan senang.
Nuri dan Desy menaiki
anak tangga, mereka masuk ke dalam sebuah ruangan. Setelah mengetuk dua-tiga
kali pintu itu dibuka. Tercium aroma khas teh yang baru diseduh. Ruangan ini
cukup luas yaitu bisa menampung satu lemari besar tanpa kaca penuh dengan buku,
serta meja kerja. Mereka berada di salah satu ruangan dosen, namanya Pak Rofik.
Sebulan yang lalu, mereka merencanakan sebuah project yaitu melakukan bimbingan
kepada anak-anak panti asuhan di daerah pinggir kota. Mereka tidak bekerja
sendirian, tetapi bekerja sama dengan relawan-relawan lain, Nuri dan Desy
adalah relawan baru yang direkrut oleh Pak Rofik.
“Berkas-berkas untuk
keperluan minggu depan sudah siap untuk ditandatangan, Pak.” Nuri menyimpan
berkas-berkas itu di atas meja Pak Rofik, dan langsung ditandatangan.
“Oke, Terimakasih.
Adalagi yang belum dipersiapkan untuk minggu depan?” Tanya beliau.
“Alhamdulillah semuanya
sudah beres Pak” jawab Desy. Mereka lalu berpamitan meninggalkan ruangan.
Sebelum pintu itu ditutup, Pak Rofik memanggil mereka kembali. Di depan pintu,
Pak Rofik berpesan untuk nanti sore ke sekretariat “Bintang Bumi Pertiwi”.
Sore itu tiba, Nuri lebih
dulu sampai dibandingkan Desy dan teman-teman relawan lainnya. 10 menit
menunggu diskusi itu dimulai, dan yang memimpin adalah Pak Rofik sendiri
sebagai pendiri dari sebuah komunitas ini. Diskusi berjalan lancar, walaupun di
tengah-tengah terdapat beberapa orang yang berbeda pendapat tapi akhirnya bisa
terselesaikan. Sebagai moderator pada diskusi kali ini, Nuri membacakan ulang
hasilnya. Minggu depan mereka akan turun. Melakukan tugas mulia, membantu
anak-anak di panti untuk mendapatkan haknya, yaitu pendidikan.
Langkah awal Nuri untuk
move on dengan menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan. Nuri selalu percaya
dengan takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya. ia yakin akan rencana terbaik
yang telah disiapkan Tuhan. Hal itu terjadi ketika ia memilih mengakhiri
hubungannya dengan Kak Salam. Nuri, perempuan sederhana yang selalu
menghabiskan waktu sore nya di depan laptop. Ia selalu suka menuliskan kejadian
yang telah dilakukan, perempuan yang akhir-akhir ini suka memakai sesuatu
berwarna biru.
“Kamu, gadis berkerudung
biru sedang apa?” itu Desy, sahabatnya yang dari kemarin memperhatikan Nuri,
terutama pada penampilan.
“Kamu dari kemarin mimpi
apa sih? kok Pakaianya biru trus” Desy menggeleng heran, lalu duduk di
sampingnya.
“Aku mimpi didatangi sama
penyanyi terkenal. Katanya kamu cocok Pakai jilbab biru, bukan merah” Desy yang
mendengarkan itu merasa heran, dan beberapa saat kemudian dia tertawa.
“Ngacok kamu. Mana mau
penyanyi itu datang ke mimpi mu. Adanya tuh gadis berkerudung merah, bukan
biru. Ada-ada saja.” Mereka saling tertawa, bahagia sekali. Di bawah atap
gazebo, di tengah keramaian anak-anak lain, dan di antara angin berhembus.
Tuhan tidak pernah membuat anak manusia terus berada di masa ujian. Dia akan
memberikan waktu yang tepat kapan harus bahagia, sedih, marah, terluka, kecewa,
jatuh, menangis. Karena semua itu adalah anugerah Tuhan, yang dititipkan kepada
masing-masing kita untuk dirasa.
Nuri percaya takdir,
begitu pula Desy. Mereka berdua percaya bahwa suatu saat akan dipertemukan
dengan pangeran masing-masing. Pangeran yang menjadi rahasia di setengah
kehidupannya, pangeran yang akan menjadi jawaban dari teka-teki hidupnya.
Pada sabtu pagi di minggu
kedua bulan desember, semua relawan berangkat ke salah satu panti asuhan yang
terletak di pinggir kota sebagai tujuan, mereka akan melakukan beberapa hal di
sana. Belajar, bermain dan berbagai agenda lainnya. Pak Rofik, Nuri dan relawan
lain berangkat dengan menggunaka satu bus. Perjalanannya hanya sebentar saja,
tidak sampai berjam-jam.
“Perkenalkan nama saya
Farhan, saya di sini sebagai wakil ketua dari pengurus panti asuhan Purnama. Mereka
tiba setelah satu jam perjalanan, dan disambut hangat oleh pengurus-pengurus
panti. Setelah berdiskusi sebentar, Nuri, Desy dan relawan lain mulai melakukan
tugas masing-masing. Ada yang belajar IPA, belajar seni termasuk menggambar,
melukis, menyanyi, ada juga yang belajar mengaji serta ada yang memilih untuk
bermain saja. Hari itu adalah hari bebas anak-anak untuk berekspresi, melakukan
hal-hal yang disukai agar suatu saat akan menjadi Purnama di bumi Pertiwi ini.
“Dek Nuri sudah lama
bergabung di komunitas ini?” suara itu mengagetkan Nuri yang sedang duduk
melihat anak-anak bermain dengan relawan yang lain.
“Tidak Kak, saya
bergabung baru sebulan terakhir ini.” Jawabnya singkat lalu menatap anak-anak
yang tengah asyik bermain.
“Bagus ya, jadi gak sibuk
di dunia perkuliahan saja, tapi sibuk di dunia luar juga. Ikut-ikut komunitas
gini seru sekali” lanjut Kak Farhan
“Untuk mengisi waktu Kak,
biar gak cuman main-main saja setelah kuliah.” dan alasan lainnya adalah agar
lebih mudah move on. Sebatas suara hatinya. Tidak ada percakapan lagi, masing-masing
diam. Memandangi anak-anak yang bermain.
“Pak Rofik itu luar
biasa, hatinya mulia sekali. saya selalu kagum melihat beliau” Kak Farhan
berseru lagi setelah lama terdiam.
“Nuri juga sangat kagum
terhadap beliau. Hati beliau benar-benar mulia, terlihat tulus sekali melakukan
sesuatu” tambah Nuri. Percakapan itu tidak berlanjut, ketika Nuri harus
menyelesaikan tugasnya, menggantikan relawan lain untuk menemani anak-anak
menulis. Tidak ada komunikasi lagi antar Nuri dan Kak Salam, benar-benar hilang
kontak. Itu akan mampu menjaga perasaan keduanya.
Mereka sampai ke tempat
tinggal masing-masing pukul 7 malam.
Nuri selalu percaya
takdir-Nya, dan selalu percaya akan rencana yang telah dituliskan untuknya.
Seberapapun sakitnya saat itu, seberat apapun ujian yang diterimanya, ia selalu
memegang keyakinan bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas
kemampuan hambaNya. Tidak akan memberi kesulitan saja, tapi pasti di sertai
kemudahan. Nuri selalu percaya Takdir Tuhan.
Detik berlalu menjadi
menit, berlalu menjadi jam, dua jam, tiga jam, berlalu lagi hingga berganti
hari, lalu minggu satu ke minggu berikutnya. Tidak ada yang tahu apa yang
terjadi siang ini, tentang apa, dimana, kemana, dan siapa yang ditemui termasuk
Nuri.
Nuri menaiki anak tangga,
dan langkahnya terhenti saat berpapasan dengan seseorang yang turun pada tangga
yang sama. Sosok yang ia kenal. “Kak Farhan?” panggilnya. Laki-laki itu
menengok, lalu tersenyum.
“Dari ruangan Pak Rofik?
Ada acara apa Kak?” tanya nya sedikit ingin tahu.
“Iya dek, tidak ada
acara. Tadi cuman bahas beberapa hal dengan Pak Rofik. Dek Nuri mau keruangan
Pak Rofik juga kah?” tanyanya balik.
Nuri mengangguk “ya sudah
Kak, Nuri pamit dulu. Oh iya, Salam buat adik-adik dipanti Kak”
“Oke, insya Allah. Kalau
begitu saya juga pamit ya.” Nuri mengangguk Itu pertemuan kedua mereka, dan
pertemuan berikut-berikutnya tidak pernah terlintas di pikiran Nuri.
“Assalamualaykum.” Nuri
dan Desy sampai di panti setelah satu jam lebih perjalanan karena macet. Pintu
itu dibuka oleh seorang ibu, secara sekilas usianya sekitar 50-an keatas.
“WaalaykumSalam. Cari
siapa, Nak?” perempuan paruh baya itu mempersilahkan mereka masuk.
“Mau ketemu ketua panti
bu, Pak Ahmad. APakah beliau ada?” ibu itu meninggalkan Nuri dan Desy. Beberapa
menit kemudian keluar seseorang yang sudah tak asing lagi dari balik tirai
pintu.
“Kalian sudah lama? Maaf
telah menunggu lama.” Farhan lalu duduk di kursi. “Oh tidak Kak, kami kesini
tidak bisa lama-lama. Kami bawakan berkas kegiatan kemarin dari Pak Rofik.
Beliau gak bisa ke sini karena ada kelas tambahan” setelah selesai urusan, Nuri
dan Desy pulang.
“Uhuk..uhukk. ada yang
sudah akrab banget nih sama seseorang” goda Desy kepada Nuri di atas kendaraan.
Nuri tidak menanggapinya, ia serius menyetir.
Itu pertemuan ketiga
mereka, dan pertemuan berikut-berikutnya tidak pernah terlintas dipikiran Nuri.
Bagi Nuri sejauh ini
perkembangan perasaannya sudah jauh lebih baik. Ia sudah tidak gugup lagi
ketika berpapasan atau bertemu Kak Salam. Ia sebisa mungkin untuk terlihat
biasa dan terus melawan perasaan aneh yang muncul. Pada suatu pagi, Nuri
berkunjung keruangan Pak Rofik, untuk memberi kabar tentang kemarin.
“Terimakasih banyak Nuri
sudah membantu saya kemarin” kata beliau sambil mempersilahkan Nuri duduk.
“Sama-sama Pak. Nuri siap
membantu kalau dibutuhkan lagi Pak” diam sejenak. Tatapan Pak Rofik terlihat
serius, dan sepertinya ada hal yang ingin di sampaikan. Nuri menunggu, tanpa
berani bertanya.
“Nuri, saya harus
menyampaikan pesan mulia ini kepada kamu secara langsung. Ini menjadi beban
bagi saya jika terus menyimpannya” kata beliau.
“Iya Pak. Kalau boleh
saya tahu pesan apakah itu dan dari siapa?” Nuri memainkan pulpen yang
dipegangnya, ia terlihat gugup dan khawatir sekali karena Pak Rofik jarang
se-serius ini.
“Begini, kemari siang
Farhan berkunjung keruangan saya. Ia sempat bertanya-tanya tentang kamu. Saya
menjawab setahunya. Ia ingin serius dengan kamu, ini pesan darinya yang harus
saya sampaikan” Nuri kaget sekaligus gugup dengan pernyataan barusan. Ia hanya
terdiam, tidak terlalu lama. Ia tidak menjawab apa-apa. Gugup, iya Nuri sangat
gugup.
“Jawabanya tidak harus
sekarang Nuri. Kamu bisa memikirkannya lagi. Saya hanya menyampaikan pesan
mulia dek Farhan” Nuri lalu berpamitan kepada Pak Rofik. iya merasa bahwa tadi
adalah mimpi, dan terus mencubit tangannya. Aaaarghhh. Lirih kesakitannya.
Nuri sadar bahwa ini
nyata, bukan mimpi semata. Nuri terjatuh, ia menunduk dalam-dalam. Tangis itu
pecah, ia nyalakan air kran. full. Hingga suara tangisnya kalah dari suara air
kran.
“Tuhan, apa yang harus
kujawab, apa yang harus kupilih, aku selalu percaya takdir yang telah Kau
gariskan” lirih hatinya Nuri.
Komentar
Posting Komentar