PULANG. Bab 1: Hari Raya Di Lombok #ceritapendek

 


Jalan raya menuju terminal kota macet karena disebabkan oleh dua titik kemacetan. Titik pertama di jalan jeruk, biasanya trotoar jalan sepanjang sekitar 2 km dialih fungsikan sebagai tempat jualan selama bulan puasa. Setiap jam setengah 4 sore, pengunjung sudah mulai ramai. Semakin menjelang waktu buka puasa semakin ramai. Hari itu, Salsa dan Tari baru berangkat sekitar jam 4 sore. Masih ada waktu 1 jam untuk perjalanan ke terminal. Namun, kondisi macet seperti sore itu membuat khawatir tidak bisa tepat waktu. Bis yang biasa ditumpangin saat pulang kampung jam 5 sudah stand by menunggu para penumpang. Perasaan Salsa tidak karuan, tidak tenang dan berbagai doa dipanjatkan. Biasanya ia sangat suka dengan kondisi seperti sore itu, jalanan yang ramai, tukang parkir yang sibuk berteriak kosong, kosong, sambil melambaikan tangan kepada setiap pengendara, dan proses jual beli atau sekedar melihat deretan makanan yang dijual. Menggiurkan sekali. Namun, semuanya tidak bisa dinikmati dengan tenang dan utuh oleh Salsa karena pikirannya sudah dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tertinggal bis misalnya. Hal itu menyebabkan rasa taku terus menguasai dirinya. Bahkan sendu dan menawannya sore di kota itu tidak mampu membuat tenang. Butuh waktu 15-20 menit untuk meloloskan diri. Lalu, mobil itu terus melaju.

Titik kemacetan kedua, di jalan mangga. Tidak terlalu ramai seperti di jalan jeruk, namun cukup membuat kendaraan mengantri panjang. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang akibatnya kemacetan tidak terelakkan. Dari dalam mobil, terlihat seorang tukang parkir turun tangan membantu dan bekerja keras untuk melerai kemacetan. Karakter manusia bisa terbaca saat menghadapi kemacetan. Ada yang tidak sabar sehingga terus membunyikan klakson kendaraan, ada yang tidak memperhatikan keselamatan kendaraan lain dengan menerobos sembarangan, ada yang bersabar dan penuh kehati-hatian. Mobil yang ditumpangin oleh mereka termasuk tipe pengemudi yang ke tiga. Kadang, membuat Salsa greget, tapi hal itu demi keselamatan semuanya. Sekitar 20 menit terjebak kemacetan sehingga pukul 5 kurang 15 menit baru tiba di terminal.

Proses transaksi selesai, mereka menuju tempat pemberhetian  bis antar provinsi. Salsa bisa bernafas lega. Tidak terlambat, menunggu lagi sekitar 15-30 menit. Sambil menunggu waktu buka puasa, Salsa dan Tari duduk di salah satu deretan kursi yang kosong. Mereka memeriksa barang bawaan dan semuanya lengkap.

“Sal, ikut reunian kelas gak minggu depan?” Sambil menikmati suasana terminal dengan angin sepoi mereka mengobrol terkait rencana-rencana selama di Lombok.

“Belum tahu. Aku perlu ikut gak? Kok agak males ya, Tar” Diujung kalimatnya Salsa tertawa.

“Kenapa? Udah ada agenda buka puasa keluarga?” Tanya Tari

“Gak juga. Aku malas aja minta ijin ke Ibu.” Jawab Salsa sembari mengangkat bahu seakan tidak yakin dan berujung malas.

“Kenapa sih Sal, kan kamu bukan anak keluyuran gak jelas. Keluar pun paling main sama aku, atau teman sekolah lain.” Tari seakan baru mengenal ibunya Salsa yang selalu susah beri ijin anaknya untuk keluar.

“Kayak gak kenal ibukku aja, Tar. Kamu kan sering kuajak melakukan misi kabur saat sekolah dulu” Salsa hanya tersenyum.

Berurusan dengan Ibunya, selalu membuat Salsa merasakan lelah batin. Setiap hal yang ia lakukan selalu saja salah di pandangan ibunya. Apa yang ia ucapkan tidak langsung dipercayai. Selalu saja ditanya dan disuudzonkan, sehingga Salsa memutuskan untuk berhenti berkata sejujur-jujurnya dan tidak selera berbagi cerita. Percuma saja ia cerita panjang dan bersemangat kalau pada akhirnya hanya akan menjadi angin lalu atau mendapatkan komentar tidak enak. Tapi, Ibu tetaplah seorang yangharus dihormati. Sosok yang selalu menjadi tempat ayahnya pulang. Perempuan kuat yang mengurus ia dan saudaranya dengan susah payah.

“Kok bisnya belum tiba juga ya? padahal udah jam setengah 6 kurang.” Salsa bangkit dari kursi dan mencari Pak Ramal yang biasa menjadi tempatnya memesan tiket.

Tari ikut bangun dari kursi, dan ikut Salsa dari belakang. Tidak jauh dari tempat duduk mereka, posisi Pak Ramal sudah terlihat sedang berbicara dengan rekan kerjanya.

“Kenapa mbak Salsa?” Pak Ramal sigap menghampiri Salsa yang berjalan ke arahnya.

“Pak, bisnya kok belum datang? Apa memang terlambat?” Tanya Salsa, dan Tari tiba di sampingnya.

“Oh iya, mbak Salsa. Saya dan teman lagi berusaha menghubungi sopirnya untuk menanyakan posisi tapi belum dijawab.” Penjelasan Pak Ramal dibalas anggukan dari Salsa dan Tari

“Iya, Pak. Gak biasanya terlambat seperti ini. Kami duduk lagi saja kalau begitu”

“Iya, mbak. Mohon maaf. Kalau ada kabar lagi, nanti segera saya kabarin ke mba dan penumpang lainnya.”

Salsa mengangguk dan membalas dengan berseru, “Oke Pak, Terimakasih”

Salsa dan Tari kembali ke kursinya tadi. Tidak lama kemudian, Salsa kembali berdiri.

“Kenapa lagi, Sal?” Tanya Tari dengan raut bingung.

“Gimna kalau kita ke ujung sana, Tar? Kayaknya bagus deh.” Salsa menunjuk lahan kosong yang berada di seberang tempat pemberhentian bis. Banyak orang yang duduk berjejer, melingkar atau saling bersandar. Syahdu sekali ya, suasana yang romantis bagi Salsa. Apalagi sore itu ditemani oleh bentangan langit biru yang dilapisi awan tipis dan di bibir langit perlahan warnanya terpancar panorama langit berwarna jingga. Salsa bisa menengok keindahan langit sore dengan tenang.

Setiap perjalanan pulang, Salsa selalu merasakan perasaan yang beragam. Lega, takut, cemas, dan penuh kehati-hatian. Ia sudah memikirkan bagaimana harus bersikap kepada keluarga dan saudaranya. Apakah kepulangannya kali itu akan sebatas pulang secara fisik untuk sekian kalinya? Apakah bahagianya hanya sebatas satu dua hari saja, selebihnya ia sudah tidak betah?. Dalam lamunannya memikirkan hal yang belum pasti terjadi, ia teringat akan sebuah pesan dari Bu Nara.

“Salsa, kamu anak yang baik dan manis. Boleh jadi titik balik takdir di keluargamu ada pada tanganmu. Maksudnya, kamu diberi kesempatan untuk menjadi seseorang yang berperan memperbaiki hubungan keluarga inti. Tuhan mau kamu menjadi perantara untuk menumbuhkan kesadaran diri dalam anggota keluarga. Kesadaran diri yang seperti apa? Salah satunya adalah sadar bahwa masing-masing mereka sedang merawat luka masa lalu, menyangkal takdir yang telah berlalu, dan berusaha untuk menutupnya, seakan semua akan baik-baik saja nyatanya hanya sedang bersandiwara.”

Saat itu, Salsa tidak sanggup menahan air matanya untuk tidak jatuh. Gagal, ia bahkan sesegukan hingga sesak di dada. Ia bahkan sudah menangis sebelum mulai berccerita. Hati yang terluka selama belasan tahun itu akhirnya tidak sanggup lagi tegar. Salsa, sadar bahwa keputusannya untuk menemui psikolog untuk membantunya mengenal emosi dan menjaga kewarasan jiwa serta mental adalah yang terbaik.

Salsa, tersenyum mengingat hari itu. Di dalam hatinya kini tumbuh harapan dan keyakinan bahwa ia mampu, setidaknya suasana rumahnya nanti lebih natural dan ada kasih sayang terpancar. Bukan sekedar kepedulian untuk menggugurkan fungsi sebagai anggota keluarga. Tidak terasa, waktu buka puasa menjelang. Mereka melaksanakan buka puasa di terminal seadanya, kurma dan air putih. Beberapa menit kemudian, Pak Ramal menghampiri mereka dan menyerahkan takjil dan nasi bungkus.

“Mba Salsa, takjil dan nasi untuk buka puasa” Salsa dan Tari menerima bergantian.

“Repot-repot sekali, Pak. Terimakasih. Bisnya bagaimana, Pak?” Tanya Salsa

“Mohon maaf Mbak, bisnya masih harus diperiksa dulu. Jadi, akan terlambat cukup lama”

“Kira-kira sampai jam berapa, Pak?”

“Mungkin jam 8, Mbak.”

“Oh, baik Pak. Terimakasih informasinya.”

“Sama-sama, Mbak.” Pak Ramal lalu beranjak pergi dan membagikan takjil dan nasi bungkus ke penumpang lainnya. Mereka haru menunggu kurang lebih 2 jam lagi. Salsa dan tari menghembus napas berat, huft, tidak marah hanya ingin melegakan hati.

 

Komentar

  1. Kok gambarnya mirip cover buku-bukunya Ahmad Fuadi ya?

    BalasHapus
  2. iyaa kah mas imad? itu foto biasa kaki anak forkalam haha

    BalasHapus

Posting Komentar