Jalan raya menuju terminal kota macet karena
disebabkan oleh dua titik kemacetan. Titik pertama di jalan jeruk, biasanya trotoar
jalan sepanjang sekitar 2 km dialih fungsikan sebagai tempat jualan selama
bulan puasa. Setiap jam setengah 4 sore, pengunjung sudah mulai ramai. Semakin
menjelang waktu buka puasa semakin ramai. Hari itu, Salsa dan Tari baru
berangkat sekitar jam 4 sore. Masih ada waktu 1 jam untuk perjalanan ke
terminal. Namun, kondisi macet seperti sore itu membuat khawatir tidak bisa
tepat waktu. Bis yang biasa ditumpangin saat pulang kampung jam 5 sudah stand
by menunggu para penumpang. Perasaan Salsa tidak karuan, tidak tenang dan
berbagai doa dipanjatkan. Biasanya ia sangat suka dengan kondisi seperti sore
itu, jalanan yang ramai, tukang parkir yang sibuk berteriak kosong, kosong, sambil
melambaikan tangan kepada setiap pengendara, dan proses jual beli atau sekedar
melihat deretan makanan yang dijual. Menggiurkan sekali. Namun, semuanya tidak
bisa dinikmati dengan tenang dan utuh oleh Salsa karena pikirannya sudah
dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tertinggal bis misalnya.
Hal itu menyebabkan rasa taku terus menguasai dirinya. Bahkan sendu dan
menawannya sore di kota itu tidak mampu membuat tenang. Butuh waktu 15-20 menit
untuk meloloskan diri. Lalu, mobil itu terus melaju.
Titik kemacetan kedua, di jalan mangga. Tidak
terlalu ramai seperti di jalan jeruk, namun cukup membuat kendaraan mengantri
panjang. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang akibatnya kemacetan tidak
terelakkan. Dari dalam mobil, terlihat seorang tukang parkir turun tangan
membantu dan bekerja keras untuk melerai kemacetan. Karakter manusia bisa
terbaca saat menghadapi kemacetan. Ada yang tidak sabar sehingga terus membunyikan
klakson kendaraan, ada yang tidak memperhatikan keselamatan kendaraan lain dengan
menerobos sembarangan, ada yang bersabar dan penuh kehati-hatian. Mobil yang
ditumpangin oleh mereka termasuk tipe pengemudi yang ke tiga. Kadang, membuat
Salsa greget, tapi hal itu demi keselamatan semuanya. Sekitar 20 menit terjebak
kemacetan sehingga pukul 5 kurang 15 menit baru tiba di terminal.
Proses transaksi selesai, mereka menuju tempat
pemberhetian bis antar provinsi. Salsa bisa bernafas lega. Tidak
terlambat, menunggu lagi sekitar 15-30 menit. Sambil menunggu waktu buka puasa,
Salsa dan Tari duduk di salah satu deretan kursi yang kosong. Mereka memeriksa
barang bawaan dan semuanya lengkap.
“Sal, ikut reunian kelas gak minggu depan?”
Sambil menikmati suasana terminal dengan angin sepoi mereka mengobrol terkait
rencana-rencana selama di Lombok.
“Belum tahu. Aku perlu ikut gak? Kok agak males
ya, Tar” Diujung kalimatnya Salsa tertawa.
“Kenapa? Udah ada agenda buka puasa keluarga?”
Tanya Tari
“Gak juga. Aku malas aja minta ijin ke Ibu.” Jawab
Salsa sembari mengangkat bahu seakan tidak yakin dan berujung malas.
“Kenapa sih Sal, kan kamu bukan anak keluyuran
gak jelas. Keluar pun paling main sama aku, atau teman sekolah lain.” Tari
seakan baru mengenal ibunya Salsa yang selalu susah beri ijin anaknya untuk
keluar.
“Kayak gak kenal ibukku aja, Tar. Kamu kan sering
kuajak melakukan misi kabur saat sekolah dulu” Salsa hanya tersenyum.
Berurusan dengan Ibunya, selalu membuat Salsa
merasakan lelah batin. Setiap hal yang ia lakukan selalu saja salah di pandangan
ibunya. Apa yang ia ucapkan tidak langsung dipercayai. Selalu saja ditanya dan
disuudzonkan, sehingga Salsa memutuskan untuk berhenti berkata sejujur-jujurnya
dan tidak selera berbagi cerita. Percuma saja ia cerita panjang dan bersemangat
kalau pada akhirnya hanya akan menjadi angin lalu atau mendapatkan komentar tidak
enak. Tapi, Ibu tetaplah seorang yangharus dihormati. Sosok yang selalu menjadi
tempat ayahnya pulang. Perempuan kuat yang mengurus ia dan saudaranya dengan
susah payah.
“Kok bisnya belum tiba juga ya? padahal udah jam setengah
6 kurang.” Salsa bangkit dari kursi dan mencari Pak Ramal yang biasa menjadi
tempatnya memesan tiket.
Tari ikut bangun dari kursi, dan ikut Salsa dari
belakang. Tidak jauh dari tempat duduk mereka, posisi Pak Ramal sudah terlihat
sedang berbicara dengan rekan kerjanya.
“Kenapa mbak Salsa?” Pak Ramal sigap menghampiri Salsa
yang berjalan ke arahnya.
“Pak, bisnya kok belum datang? Apa memang
terlambat?” Tanya Salsa, dan Tari tiba di sampingnya.
“Oh iya, mbak Salsa. Saya dan teman lagi berusaha
menghubungi sopirnya untuk menanyakan posisi tapi belum dijawab.” Penjelasan Pak
Ramal dibalas anggukan dari Salsa dan Tari
“Iya, Pak. Gak biasanya terlambat seperti ini.
Kami duduk lagi saja kalau begitu”
“Iya, mbak. Mohon maaf. Kalau ada kabar lagi,
nanti segera saya kabarin ke mba dan penumpang lainnya.”
Salsa mengangguk dan membalas dengan berseru, “Oke
Pak, Terimakasih”
Salsa dan Tari kembali ke kursinya tadi. Tidak
lama kemudian, Salsa kembali berdiri.
“Kenapa lagi, Sal?” Tanya Tari dengan raut
bingung.
“Gimna kalau kita ke ujung sana, Tar? Kayaknya bagus
deh.” Salsa menunjuk lahan kosong yang berada di seberang tempat pemberhentian
bis. Banyak orang yang duduk berjejer, melingkar atau saling bersandar. Syahdu
sekali ya, suasana yang romantis bagi Salsa. Apalagi sore itu ditemani oleh
bentangan langit biru yang dilapisi awan tipis dan di bibir langit perlahan warnanya
terpancar panorama langit berwarna jingga. Salsa bisa menengok keindahan langit
sore dengan tenang.
Setiap perjalanan pulang, Salsa selalu merasakan
perasaan yang beragam. Lega, takut, cemas, dan penuh kehati-hatian. Ia sudah
memikirkan bagaimana harus bersikap kepada keluarga dan saudaranya. Apakah
kepulangannya kali itu akan sebatas pulang secara fisik untuk sekian kalinya? Apakah
bahagianya hanya sebatas satu dua hari saja, selebihnya ia sudah tidak betah?. Dalam
lamunannya memikirkan hal yang belum pasti terjadi, ia teringat akan sebuah
pesan dari Bu Nara.
“Salsa, kamu anak yang baik dan manis. Boleh jadi
titik balik takdir di keluargamu ada pada tanganmu. Maksudnya, kamu diberi
kesempatan untuk menjadi seseorang yang berperan memperbaiki hubungan keluarga
inti. Tuhan mau kamu menjadi perantara untuk menumbuhkan kesadaran diri dalam
anggota keluarga. Kesadaran diri yang seperti apa? Salah satunya adalah sadar
bahwa masing-masing mereka sedang merawat luka masa lalu, menyangkal takdir
yang telah berlalu, dan berusaha untuk menutupnya, seakan semua akan baik-baik
saja nyatanya hanya sedang bersandiwara.”
Saat itu, Salsa tidak sanggup menahan air matanya
untuk tidak jatuh. Gagal, ia bahkan sesegukan hingga sesak di dada. Ia bahkan
sudah menangis sebelum mulai berccerita. Hati yang terluka selama belasan tahun
itu akhirnya tidak sanggup lagi tegar. Salsa, sadar bahwa keputusannya untuk
menemui psikolog untuk membantunya mengenal emosi dan menjaga kewarasan jiwa serta
mental adalah yang terbaik.
Salsa, tersenyum mengingat hari itu. Di dalam
hatinya kini tumbuh harapan dan keyakinan bahwa ia mampu, setidaknya suasana rumahnya
nanti lebih natural dan ada kasih sayang terpancar. Bukan sekedar kepedulian
untuk menggugurkan fungsi sebagai anggota keluarga. Tidak terasa, waktu buka
puasa menjelang. Mereka melaksanakan buka puasa di terminal seadanya, kurma dan
air putih. Beberapa menit kemudian, Pak Ramal menghampiri mereka dan
menyerahkan takjil dan nasi bungkus.
“Mba Salsa, takjil dan nasi untuk buka puasa” Salsa
dan Tari menerima bergantian.
“Repot-repot sekali, Pak. Terimakasih. Bisnya
bagaimana, Pak?” Tanya Salsa
“Mohon maaf Mbak, bisnya masih harus diperiksa
dulu. Jadi, akan terlambat cukup lama”
“Kira-kira sampai jam berapa, Pak?”
“Mungkin jam 8, Mbak.”
“Oh, baik Pak. Terimakasih informasinya.”
“Sama-sama, Mbak.” Pak Ramal lalu beranjak pergi
dan membagikan takjil dan nasi bungkus ke penumpang lainnya. Mereka haru
menunggu kurang lebih 2 jam lagi. Salsa dan tari menghembus napas berat, huft,
tidak marah hanya ingin melegakan hati.
Kok gambarnya mirip cover buku-bukunya Ahmad Fuadi ya?
BalasHapusiyaa kah mas imad? itu foto biasa kaki anak forkalam haha
BalasHapus