Pagi yang tenang, sore yang sendu, hingga hari berganti hari.
Bulan. Tahun. Dan juga orang-orang yang ia temui. Bermacam rupa dan karakter
yang sempat ia tahu, satu dua terhafalkan. Suaranya. Cara tertawanya. Cara
berceritanya. Cara tersipu malunya. Pertemuan yang menyisakkan pertanyaan-pertanyaan
membuatnya merenung. Kadang diramainya siang, juga ditenangnya malam.
Adakah orang-orang yang ia temu-i selama ini bisa dipercayai.
Adakah orang-orang yang ia teman-in main selama ini dapat
dipercayai.
Berkali-kali lalu berakhir menyesakkan. Tak berjumpa jawaban.
Rasa-rasanya, ia ingin sekali membuktikkan apa-apa yang telah
didengar dan digambarkan orang lain, tentang menyenangkan dan seru-nya mem-punya-i
seseorang yang berbeda garis keturunan keluarga dengan kita namun sangat dekat.
Sangat akrab dengannya. Bisa berbagi kebahagian. Meredamkan kesedihan.
Mendamaikan kegelisahan. Mendukung disaat khawatir dan jatuh. Adakah, ia bisa
merasakan secara langsung tentang itu semua?
Dan, pertanyaan itu semakin menjadi-jadi saat orang yang ia temu-i
dan baru akrab bisa santai dan serius berbagi sedikit kegalauan dan juga
kebahagian dari hidup mereka. Semakin banyak yang percaya untuk berbagi
kepadanya. Ia-pun semakin sesak.
Adakah orang-orang yang ia temu-i selama ini bisa dipercayai.
Adakah orang-orang yang ia teman-in main selama ini dapat
dipercayai.
Apakah mereka yang telah lama ia kenal? Atau yang baru ia kenal?
Atau yang akan ia kenal dimasa mendatang?.
Dan pertanyaan itu terus mengejarnya. Membuat ia terus mencari dan
mencari.
Kadang sedih. Kadang kecewa. Kadang tak ingin mencari lagi.
Seringnya begitu.
Ia menangis. Tapi tak pernah mengerti arti tangisan itu sebenanrnya.
Ia terluka. Tapi tak pernah mengerti kenapa ia seluka itu.
Ia, kembali menyendiri lagi.
Mencoba menerka-nerka jawaban ditenangnya pagi, disendunya sore,
atau disunyinya malam.
Pertemuan-pertemuan yang ia lewati.
Menyadarkannya. Menjadi jawaban atas pertanyaan yang menguras
energinya.
Apakah ada yang bisa ia percayai? Jawabannya ada. Lalu dimana? Sangat
dekat dengannya.
Berani. Itu yang ia lupakan.
Berani. Itu yang ia lewatkan.
Berani. Hal yang tak ia hiraukan namun menjadi jembatan untuknya mendapatkan
titik terang atas pertanyaan yang dilontarkan.
Berani? Rupanya ia tak se-berani yang lain untuk memilih.
Mengambil keputusan-keputusan. Menentukan pilihan-pilihan. Termasuk pilihan
mempercayai.
Ia, serignya mempertimbangkan. Lagi dan lagi. Ucapan. Tindakan.
Mengkhawatirkan masa esok padahal itu adalah rahasiaNya.
Berani? Langkah awal yang harus ia ambil. Takut? Pasti.
Tapi seiring berjalan waktu, ia pun mulai terbiasa. Berani
Bercerita. Berani mempercayakan orang lain untuk mendengarkan mimpi dan
kegalauannya. Berani memilih pilihan itu. Berani keluar dari rasa khawatirnya.
Secara perlahan. Hanya kepada orang-orang tertentu.
Pada tenangnya pagi, sendunya sore, dan sunyinya malam. Ia
menyadari. Bahwa, ia keliru.
Bagaimana mungkin selama ini hanya bisa menuntut orang lain untuk
mau percaya kepada dirinya, padahal ia sendiri sulit memberi kepercayaan kepada
yang lain.
Bagaimana mungkin selama ini ia ingin menemukan orang yang bisa
dipercayai jika selama ini ia tak berani mengambil langkah kecil. Berani
berbagi.
Bagaimana mungkin selama ini ia bisa marah kepada garis hidupnya
padahal itu adalah pilihannya sendiri. Tidak berani. Takut mempercayai orang
lain terlebih dahulu. Takut keliru. Tidak mau keluar dari lingkaran kesendirian
sunyinya.
Ia menata hatinya. Mengangguk. Menyadari bahwa selama ini bukan ia
yang tak menemukan atau bukan tak ada yang dapat dipercayai. Tapi, dirinya
sendiri yang jadi hambatannya. Dan, ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar
untuk mengerti atas segala takdir lewat pertemuan-pertemuan yang telah dilewati.
Ia sadar. Bahwa dirinya sendiri yang harus memulai jika ingin
menemukan yang sedang ia cari.
-dengansenyum-
Komentar
Posting Komentar