CerBung Eps. 2: Kehadiran Teman Baru


"Lu. Lulu. Berangkat, ayo..." itu suara Rio yang menjemput.

Pada jam dinding rumah menunjukkan pukul 7 masih kurang 40 menit lagi, dan laki-laki yang telah rapi berseragam pramuka nongol di depan pintu.

Aku yang baru selesai memakai seragam, merapikan rambut, dan menyiapkan apa-apa yang perlu dibawa di hari pengumuman kelulusan sekolah menengah atas kami, segera keluar saat suara pagar dan teriakannya terdengar.

"Astaga! Kecepatan, Rio. Aku belum sarapan, heh."
"Jam 8 sudah di sekolah, Lu. Gak boleh telat, lho."
"Sial, aku makan dulu. Bentar!!!" aku buru-buru ke dapur. Mengambil piring, sendok, dan nasi goreng satu centong, ku letakkan di atas piring, beserta lauknya.

"Udah makan belum?" tanyaku.
"Buatku, ada?" tanyanya balik. Nyengir. Mata agak sipit itu semakin hilang.
"Hm. Bentar. Buru-buru, sih. Padahal sekolah gak bakal lari. Kata lulus gak berubah jadi gak lulus, kan." dengan porsi yang lebih banyak dan menu sama. Ia menerima sepiring nasi goreng. Sarapan.
"Harus tepat waktu, Lu." Tepat waktu. Rio memang juara. Tugas rumah tidak pernah dikerjakan H-beberapa jam mata pelajaran. Catatan keterlambatan di pembukuan BK, bersih tanpa namanya. Rapi, rajin, dan otak encer, adalah branding dirinya Rio.
"Iya, tepat sih tepat. Tapi, sarapan juga penting. Tepat waktu!" pada kata 'tepat waktu' sengaja betul memberi tekanan.
"Bisa makan di kantin." jawabannya santai sambil melahap nasi goreng.
"Gaya..."

Sejenak lengang. Hanya ada suara denting sendok yang bergesekkan dengan piring, juga detak jam dinding yang terus berputar tanpa sejenak saja melambatkan diri atau berhenti.

"Lho, ada tamu nih. Makan yang banyak, Dek." Suara Kak Mila yang baru masuk rumah memecah hening.
"Eh, iya, iya, Kak Mila. Dari mana, Kak?" tanya Rio.
"Biasa. Olahraga. Keliling lapangan. Eh, hari ini kalian pengumuman kelulusan, ya?"
"Rajin betul, Kak. Gak kayak..." belum habis kalimatnya, aku sudah menyalip berseru.
"Apa? Aku? Tuh nasi goreng gak bakal ada kalau aku olahraga." Kak Mila yang melihat ketidakakuran kami se-pagi itu tertawa.
"Udah, udah. Buruan habiskan sarapan. Lulu, Ibu kemana?" Topik sudah berganti, dan Kak Mila mengambil alih.
"Ke pasar sama Doni."
"Oh. Baiklah. Kak Mila tinggal ke atas ya."
"Ya, Kak." jawab kami bersamaan.
"Kalau mau nambah lagi, nambah aja. Lapar, kayaknya tuh." seruku ketika piringnya sudah bersih mengkilap.

Piring bersih, mengkilap, walaupun belum di cuci, membuatku sejak sadar untuk mengenang rutinitas rutin tiap sabtu siang.
"Lu, kalau makan, usahakan makanannya abis. Tak bersisa sedikit pun."
"Kenyang, Rio."
"Pelan-pelan, Lu."
"Beneran, kenyang udahan, Rio."
"Apa kubilang tadi, pesannya setengah aja. Aku juga udah kenyang nih."
"Yaudah, biar gapapa."
"Jangan, Lu. Kalau nyisahin makanan gini, kita bisa jadi kehilangan berkahnya makanan. Boleh jadi, keberkahan makanan malah ada di sendok terakhir ini." jelasnya sambil menunjukkan satu sendok berisi lontong, lalu dimakannya.
"Iya, ya. Besok gak kuulangi lagi." begitulah. Pedulinya bahkan terhadap sesuatu yang dimakan.

Itu kejadian suatu hari di waktu siang berterik. Di warung gado-gado langganan dekat pasar kota kabupaten tempat kami menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Setiap sabtu, setelah pulang sekolah, makan siang, seringnya menikmati gado-gado. Setiap itu juga, aku selalu menyisahkan makanan, lalu Rio akan berucap seperti di atas, dan aku mengucapkan janji, dan gado-gadonya benaran habis, bersih, walaupun sebelumnya tadi, ia bilang sudah kenyang. Aku terus mengulang janji. Ia terus mengulang kebaikan. Ah.

Kembali ke rumah, di waktu pagi, hari pengumuman kelulusan kami.

"Berangkat!" serunya.
"Lets, Go!" sahutku.

Jam 7 kurang 10 menit, kami menanggalkan rumah. Menuju sekolah, tempat kami belajar, bermain, menghabiskan masa remaja anak usia belasan tahun. Tidak tertinggal, kisah-kisah cinta monyet. Mengingatnya, membuatku tidak berhenti tertawa geli, sendirian.

Waktu tempuh yang dibutuhkan dalam perjalanan menuju kota kabupaten kurang lebih 1 jam. Kami segera menuju sekolah. Sekitar pukul 8 kurang 20 menit, motor yang ditumpangi sudah terparkir, helm yang dipakai sudah dilepas, seragam pramuka yang dikenakan dirapikan. Kini, langkah berikutnya adalah menuju lapangan sekolah. Tiba sesegera mungkin.

Hari itu adalah spesial untuk murid kelas 3 akan diumumkan kelulusannya. Ada yang tegang. Ada yang keringat dingin. Ada yang jantungnya berasa sedang konslet, berdetak tidak karuan. Ada yang biasa saja. Ada yang cuek. Ada yang diam. Dibalik semua ada yang sedang dirasa, tetap tawa-tawa dari wajah mereka lebih sering ada dan terlihat.

"Semoga hari ini, kabar bahagia yang akan kami dengar, Tuhan." lirihku.

"Kok sendiri? Yang lain ke mana?" seseorang yang kukenal tiba-tiba mengagetkan.
"Eh. Hai." seketikapun gagap.
"Duduk, boleh?"
Pertanyaannya membuatku sedikit heran, lantas berseru, "Lha. Pake nanya, ya boleh lah."
"Nunggu orang? Rio?"
"Iya, Dika. Tadi sih katanya ke perpustakaan. Ketemu Pak Ucup. Sejak tadi kamu belum ketemu sama dia?"
"Ketemu kok tadi. Tapi, tiba menghilang gitu."
"Oh." jawabku pendek.
"Semoga kita hari ini lulus semua, ya."
"Semoga ya. Amin."
"Ngomong-ngomong, bakal lanjut kuliah ke mana, Lu?"
"Rencananya bakal ke ibukota provinsi. Kamu?"
"Sama, sih. Baguslah. Aku gak bakal sendirian yang ke sana."
"Hahaha. Ya gak mungkinlah bakal sendirian. Banyak kok anak-anak di kelasku yang bakal lanjut ke universitas di ibukota provinsi."

Bincang-bincang dengan Dika cukup beragam. Ditengah membahas tentang buku favorit masing-masing. Rio pun datang. Segera duduk di sampingnya Dika.
"Rajin benar ke perpustakaan. Ngapain?" Dika yang mewakili suara hati ingin mempertanyakan hal yang sama.

"Ada urusan sama Pak Ucup. Rahasia." ia tersenyum seusai menjawabnya.
"Udah beres?" tanyaku.
"Udah. Tinggal printilan-printilan uruaan lain yang perlu di selesaikan."
"Aku bantuin ya."
"Gak usah. Bahkan satu tanganpun bisa teratasi."
"Gaya..."

Dika, aku hanya tahu bahwa ia adalah salah satu pemain basket andalan sekolah, juga sekelas dengan Rio. Bertemu, mengobrol dengannya tidak sering. Hanya beberapa-kali jika aku ada urusan dengan Rio. Mereka juga berteman baik.

Persahabatan. Aku dan Rio. Rio dan Dika.
Dan, hari itu, sebuah misi sedang dijalankan. Saksinya adalah langit biru, tanpa awan tebal yang menganggu pandangan sejauh mata ingin memandang birunya langit sepuas-puasnya.

Bersambung...

Cerbung Eps. 1: Tembok Pembatas = http://khusnuulkhatimahh.blogspot.com/2020/07/cerbung-eps-1-tembok-pembatas.html

Komentar